Pendahuluan
Banyak dari kita pergi ke Demak untuk
ziarah, termasuk pergi ke masjid Demak. Tulisan ini mencoba melengkapinya,
utamanya terkait kajian peran dan fungsi masjid pada masa Kasultanan Demak dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan fokus khusus pada peran takmir
masjid sebagai institusi pengelola. Tulisan ringan ini akan mencoba menganalisis bagaimana Masjid Agung Demak tidak hanya berfungsi
sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai pusat aktivitas sosial, ekonomi, dan
pendidikan. Kajian awal ini semoga dapat membantu pemahaman tentang sejarah kelembagaan Islam di Nusantara dan dapat mendorong kajian lain dan perspektif baru dalam kajian ekonomi Islam dan kesejahteraan sosial berbasis masjid.
Sebagaimana kita ketahui Kasultanan Demak (1475-1548) merupakan
kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kasultanan Demak ini memiliki pengaruh signifikan dalam
penyebaran Islam di Nusantara. Sebagai kerajaan yang berlandaskan nilai-nilai
Islam, Kasultanan Demak menjadikan masjid sebagai institusi sentral dalam
struktur pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat. Masjid Agung Demak yang
dibangun oleh Raden Patah, pendiri Kasultanan Demak, tidak hanya berfungsi
sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai pusat aktivitas politik, sosial,
ekonomi, dan pendidikan.
Sekilas Kasultanan Demak
Kasultanan Demak didirikan oleh Raden
Patah. Sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, Kasultanan Demak memainkan peran
penting dalam mengembangkan Islam di Nusantara. Sistem pemerintahan Kasultanan
Demak didasarkan pada prinsip-prinsip syariah dengan sultan sebagai pemimpin
politik sekaligus keagamaan (Azra,2017). Menurut Burhanudin (2016), Kasultanan
Demak berhasil membangun struktur pemerintahan yang mengintegrasikan
nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal. Hal ini tercermin dari sistem administrasi yang menempatkan ulama dalam posisi penting sebagai penasihat sultan.
Walisongo, sebagai kelompok ulama yang berpengaruh, memiliki peran signifikan
dalam pembentukan kebijakan, termasuk dalam aspek kesejahteraan
masyarakat. Perkembangan Kasultanan Demak sebagai pusat politik dan keagamaan
didukung juga oleh lokasinya yang strategis sebagai pelabuhan dagang. Hal ini
memungkinkan Demak menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat penyebaran Islam.
Agus Sunyoto (2017) mencatat bahwa aktivitas ekonomi di Demak tidak terlepas
dari peran masjid sebagai institusi yang mendukung pengembangan ekonomi
syariah.
Masjid Agung Demak dibangun sekitar tahun
1479 M atas prakarsa Raden Patah dan Walisongo. Arsitektur masjid ini
mencerminkan akulturasi budaya Islam dengan tradisi lokal, yang ditandai dengan
penggunaan atap tumpang dan soko guru (empat tiang utama) yang
merepresentasikan filosofi Jawa (Nurjayanti et.al., 2018). Penelitian Ashadi
(2016) menunjukkan bahwa desain Masjid Agung Demak tidak hanya mempertimbangkan
aspek spiritual tetapi juga fungsi sosial. Keberadaan serambi masjid (pendopo)
yang luas memungkinkan masjid berfungsi sebagai ruang publik untuk berbagai
aktivitas sosial, termasuk musyawarah, pendidikan, dan penyelesaian konflik
masyarakat. Saraswati dan Latif (2020) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
kompleks Masjid Agung Demak dirancang sebagai pusat aktivitas masyarakat dengan
area yang luas dan terintegrasi dengan pasar dan pusat pemerintahan. Hal ini
mencerminkan konsep perencanaan tata ruang yang menempatkan masjid sebagai
pusat aktivitas sosial-ekonomi.
Masjid dalam tradisi Islam memiliki fungsi
yang multidimensional, tidak hanya sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai
pusat pendidikan, aktivitas sosial, dan ekonomi. Menurut Azra (2019), masjid
pada masa awal Islam berfungsi sebagai pusat administrasi negara, tempat
musyawarah, dan bahkan sebagai "badan legislatif" yang
merumuskan kebijakan publik. Dalam konteks Nusantara, Firdaus (2018) mengungkapkan bahwa masjid memiliki karakteristik unik yang
menyesuaikan dengan budaya lokal. Fungsi masjid di Nusantara berkembang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat, termasuk sebagai pusat pendidikan
pesantren dan basis gerakan sosial. Sedangkan Ricklefs (2015) mencatat bahwa
perkembangan Islam di Jawa tidak dapat dilepaskan dari peran masjid sebagai
institusi sosial. Masjid menjadi tempat pertemuan antara nilai-nilai Islam
dengan kearifan lokal, yang kemudian membentuk identitas Islam Nusantara yang
khas.
Takmir masjid secara etimologi berasal dari kata Bahasa Arab 'amara yang berarti memakmurkan. Secara terminologi, takmir masjid merujuk pada lembaga yang bertanggung jawab untuk memakmurkan masjid, baik dalam aspek fisik maupun fungsi sosialnya (Jaelani, 2016). Muzakki (2019) meneliti evolusi konsep takmir masjid dari masa klasik hingga kontemporer, dan menurutnya, takmir masjid pada masa awal Islam merupakan bagian integral dari struktur pemerintahan, namun dalam perkembangannya menjadi lembaga semi-otonom yang berperan sebagai penghubung antara masyarakat dengan pemerintah. Studi komparatif yang dilakukan oleh Fitriani dan Rahmawati (2021) menunjukkan bahwa model pengelolaan masjid di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara-negara Muslim lainnya. Di Indonesia, takmir masjid memiliki otonomi yang lebih besar dalam mengelola masjid dan mengembangkan program-program kesejahteraan masyarakat.
Fungsi Masjid pada Masa Kasultanan Demak
Fungsi Religius dan Pendidikan.
Pada masa Kasultanan Demak, masjid berfungsi sebagai pusat ibadah dan
pendidikan Islam. Menurut penelitian Fathurrahman (2019), Masjid Agung Demak
menjadi pusat pembelajaran Al-Qur'an, hadits, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya
yang dikelola ulama Walisongo. Sistem pendidikan ini berkontribusi pada
pengembangan sumber daya manusia yang berilmu dan berakhlak, yang pada
gilirannya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Solihin (2020) menjelaskan bahwa pendidikan di Masjid Agung Demak tidak hanya
fokus pada ilmu-ilmu agama tetapi juga mencakup ilmu-ilmu praktis seperti
pertanian, perdagangan, dan pengobatan tradisional. Pendekatan holistik ini
memungkinkan masyarakat memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk
meningkatkan taraf hidup mereka.
Fungsi Ekonomi.
Masjid pada masa Kasultanan Demak juga berfungsi sebagai pusat aktivitas
ekonomi. Penelitian Wahid (2018) mengungkapkan bahwa kompleks Masjid Agung
Demak menjadi pusat perdagangan dengan adanya pasar yang terintegrasi dengan
masjid. Praktik ekonomi syariah seperti wakaf produktif, baitul mal, dan sistem
mudharabah dikembangkan di bawah pengawasan takmir masjid. Hasbullah dan
Sukmana (2019) menjelaskan bahwa masjid pada masa Kasultanan Demak mengelola
aset wakaf yang produktif, seperti lahan pertanian dan perkebunan. Hasil dari
pengelolaan aset ini digunakan untuk mendanai program-program kesejahteraan
seperti bantuan untuk fakir miskin, pembiayaan pendidikan, dan pembangunan
infrastruktur publik.
Fungsi Sosial.
Masjid Agung Demak juga berfungsi sebagai pusat aktivitas sosial-politik.
Penelitian Latif (2019) menunjukkan bahwa masjid menjadi tempat musyawarah
untuk membahas kebijakan kerajaan dan persoalan-persoalan publik. Masjid juga
menjadi tempat penyelesaian konflik masyarakat melalui mekanisme mediasi yang
dipimpin oleh ulama. Ansori (2021) melalui penelitiannya menyatakan bahwa
masjid pada masa Kasultanan Demak berperan sebagai penyatu masyarakat yang
beragam. Melalui berbagai ritual dan aktivitas sosial, masjid menjadi ruang
publik yang memperkuat kohesi sosial dan membangun modal sosial masyarakat.
Fungsi Layanan Sosial. Masjid Agung Demak juga menyediakan berbagai layanan sosial untuk masyarakat. Menurut penelitian Nugroho (2018), masjid menjadi pusat bantuan sosial yang menyediakan makanan, tempat tinggal sementara bagi musafir, dan bantuan medis bagi yang membutuhkan. Penelitian Fauzia (2017) menunjukkan bahwa masjid pada masa Kasultanan Demak mengembangkan sistem jaminan sosial berbasis zakat dan sedekah. Sistem ini menyediakan jaringan pengaman sosial bagi masyarakat yang rentan seperti yatim piatu, janda, dan fakir miskin.
Peran Takmir Masjid
Struktur Takmir.
Pada masa Kasultanan Demak, takmir masjid memiliki struktur yang terorganisir
dengan baik. Menurut Aziz (2020) dalam penelitiannya, takmir Masjid Agung Demak
terdiri dari: Imam Besar (biasanya dari kalangan ulama Walisongo) yang
bertanggung jawab atas aspek spiritual dan pendidikan; Nadhir yang mengelola
aset wakaf dan keuangan masjid; Qadi yang menangani persoalan hukum dan
penyelesaian konflik; Khatib yang bertanggung jawab atas dakwah dan komunikasi
publik; Muadzin dan petugas pemeliharaan yang mengelola operasional harian
masjid. Struktur ini mencerminkan pendekatan profesional dalam pengelolaan
masjid yang menggabungkan aspek spiritual dengan manajemen organisasi yang
efektif.
Pengelolaan Aset dan Keuangan Masjid.
Takmir masjid pada masa Kasultanan Demak berperan penting dalam pengelolaan
aset dan keuangan masjid. Penelitian Choirunnisak (2021) menunjukkan bahwa
takmir masjid mengelola berbagai sumber pendapatan, termasuk wakaf, zakat,
sedekah, dan hasil usaha masjid seperti pertanian dan perdagangan. Saifuddin dan
Mubarok (2018) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa takmir masjid
mengembangkan model keuangan inklusif yang memungkinkan masyarakat mengakses
pembiayaan untuk usaha produktif. Model ini mirip dengan konsep microfinance
modern dan berkontribusi pada pengembangan ekonomi lokal.
Pengembangan Program Kesejahteraan.
Takmir masjid pada masa Kasultanan Demak aktif mengembangkan program-program
kesejahteraan masyarakat. Menurut Huda (2019), program-program tersebut meliputi bantuan modal usaha bagi pedagang dan
pengrajin, pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, jaminan
pangan bagi fakir miskin melalui lumbung padi masjid, layanan kesehatan
tradisional, pembangunan infrastruktur publik seperti jalan, jembatan, dan
irigasi. Prabowo (2020) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa takmir masjid
mengembangkan sistem distribusi zakat yang inovatif, yang tidak hanya berfokus
pada bantuan konsumtif tetapi juga bantuan produktif untuk mengentaskan
kemiskinan secara struktural.
Mediasi Konflik dan Kohesi Sosial. Takmir masjid berperan sebagai mediator dalam konflik masyarakat. Penelitian Muttaqin (2017) menunjukkan bahwa takmir masjid memiliki legitimasi sosial yang kuat untuk menyelesaikan berbagai konflik, mulai dari sengketa tanah hingga konflik keluarga. Rahman (2020) dalam penelitiannya menyatakan bahwa takmir masjid mengembangkan mekanisme resolusi konflik yang berbasis pada nilai-nilai Islam dan kearifan lokal. Pendekatan ini efektif dalam memelihara harmoni sosial dan mencegah konflik yang berkepanjangan.
Penutup
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa pada masa
Kasultanan Demak masjid memiliki fungsi multidimensional dalam bidang
kesejahteraan rakyat, meliputi fungsi religius-pendidikan, ekonomi, dan sosial.
Takmir masjid dan nadhir berperan penting dalam implementasi fungsi-fungsi tersebut
melalui pengelolaan aset dan keuangan masjid, pengembangan program
kesejahteraan, termasuk fungsi membangun kerukunan sosial.
Apabila kita tarik kedepan, fungsi masjid di atas tentunya masih relevan untuk
konteks kekinian, utamanya terkait fungsi masjid dalam membangun kesejahteraan
sosial jamaah dan masyarakat sekitarnya. Takmir masjid (dan mushola) sangat berperan dalam
upaya pembangunan itu. Harapannya dengan bercermin pada sejarah, takmir masjid/mushola
NU bersama jamaahnya diharapkan terus merefleksi, berinovasi dan merevitalisasi fungsi dan
peran masjid/mushola dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Wallohu a'lam.(*)