Ticker

6/recent/ticker-posts

Masjid di Era Sultan Agung (1613-1646)

Masjid di Era Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646)


Pendahuluan

Mempelajari sejarah (history) itu penting untuk membantu kita memahami masalalu, masakini, dan masadepan. Dengan mempelajari sejarah kita akan berkembang menjadi warga yang lebih berwawasan. Tulisan ini mencoba mengkaji aspek historis peran dan fungsi masjid pada era Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646) di Kesultanan Mataram Islam. Meskipun sumber referensinya relatif terbatas, tulisan ini layak disajikan untuk memahami perkembangan masjid (dan mushola) dari masa ke masa. Era Sultan Agung merupakan puncak keemasan Mataram Islam di Jawa. Dari sini kita mencoba menelisik bagaimana peran dan fungsi masjid (dan mushola) pada saat itu. Harapannya semoga tulisan ini dapat menambah khazanah keilmuan kita semua, dan bagi takmir masjid (dan mushola) semakin istiqomah dalam mengabdikan diri untuk memakmurkan masjid/mushola yang diamanahkan. Dengan mempelajari sejarah semoga kita menjadi semakin arif bijaksana menghadapi masakini dan masadepan.

Sebagaimana kita ketahui, Sultan Agung Hanyakrakusuma merupakan salah satu penguasa terbesar dalam sejarah Mataram Islam dan Nusantara. Di bawah kepemimpinannya, Mataram mencapai masa kejayaan dengan wilayah yang membentang hampir di seluruh Jawa (Fauziah et al., 2021). Sebagai seorang penguasa Muslim, Sultan Agung dikenal dengan kebijakan akulturasi budaya yang memadukan nilai-nilai Islam dengan tradisi Jawa. Salah satu manifestasi kebijakan tersebut terlihat dalam pembangunan dan fungsi masjid pada era pemerintahannya. Masjid tidak lagi sekadar tempat ibadah, tetapi berkembang menjadi institusi multifungsi yang menyokong otoritas politik, religius, dan kultural Sultan Agung (Nasution & Miswari, 2020). Era Sultan Agung menandai transformasi signifikan dalam fungsi masjid di Jawa.

 

Masjid di Era Sultan Agung

Sultan Agung menaiki tahta Mataram pada 1613 dalam situasi kerajaan yang masih memerlukan konsolidasi. Sebelum memperkuat dan memperluas wilayah, Sultan Agung memperkuat legitimasi kekuasaannya melalui pendekatan kultural-religius (Handayani & Wasino, 2020). Disini masjid menjadi salah satu instrumen utama dalam kebijakan ini. Penelitian Nuraedah (2020) menunjukkan bahwa kebijakan keagamaan Sultan Agung bercirikan sinkretisme (perpaduan) yang menjembatani tradisi Jawa dengan Islam. Pendekatan ini tercermin dalam arsitektur dan fungsi masjid-masjid yang dibangun pada masanya, seperti penggunaan atap tumpang pada masjid yang merupakan adaptasi dari bangunan khas Jawa.

Sultan Agung menjadikan pembangunan masjid sebagai bagian integral dari program pengembangan Islam dan ekspansi kekuasaan. Setiap wilayah yang ditaklukkan atau berada di bawah pengaruh Mataram diharuskan memiliki masjid sebagai pusat keagamaan dan administratif (Fauziah et al., 2021). Studi Mukharomah (2020) mencatat bahwa masjid pada era Sultan Agung didirikan dengan pola tertentu, umumnya di dekat alun-alun dan keraton, membentuk tata ruang kota yang mencerminkan kosmologi Jawa sekaligus nilai-nilai Islam. Pola ini dikenal sebagai "Catur Gatra Tunggal" yang terdiri dari keraton, alun-alun, masjid, dan pasar, mencerminkan perpaduan kekuasaan politik, religius, dan ekonomi.

Masjid-masjid yang dibangun pada era Sultan Agung memiliki karakteristik arsitektur yang khas, mencerminkan akulturasi Islam-Jawa. Penelitian Wibowo & Anisa (2022) mengidentifikasi beberapa fitur distingtif: (1)Atap Tumpang: Umumnya bertingkat tiga, merepresentasikan konsep kosmologi Jawa sekaligus simbolisme Islam tentang tingkatan iman, islam, dan ihsan; (2)Saka Guru: Empat tiang utama yang mendukung struktur atap, merefleksikan filosofi Jawa sekaligus simbolisme Islami tentang empat khalifah pertama; (3)Orientasi Kiblat: Meskipun mengadopsi elemen arsitektur Jawa, masjid tetap mematuhi prinsip orientasi ke Mekah; (4)Serambi: Area transisi sebelum ruang utama masjid, berfungsi sebagai ruang sosial dan pendidikan; dan (5)Kolam dan Tempat Wudhu: Umumnya ditempatkan di bagian depan atau samping masjid. Masjid Agung di pusat Mataram (sekarang Yogyakarta dan Surakarta) menjadi prototipe yang kemudian direplikasi di wilayah-wilayah kekuasaan. Penelitian Supatmo et al. (2023) menganalisis bagaimana Masjid Agung Mataram menjadi model arsitektural dan institusional yang diikuti oleh masjid-masjid di wilayah bawahan, menciptakan jejaring masjid yang terintegrasi secara visual dan fungsional.

Fungsi primer masjid sebagai tempat ibadah tetap dipertahankan pada era Sultan Agung. Namun, praktik ibadah yang berlangsung di dalamnya seringkali mencerminkan sinkretisme Islam-Jawa. Menurut Supatmo et al. (2023), ritual-ritual seperti Grebeg Mulud (perayaan Maulid Nabi) dan Sekaten menjadi aktivitas penting yang dipusatkan di masjid agung, mendemonstrasikan perpaduan tradisi Islam dan Jawa. Masjid juga menjadi tempat pelaksanaan shalat Jumat yang dihadiri Sultan, menciptakan momen penting di mana otoritas religius dan politik bertemu dalam satu ruang sakral.

Kajian Nasution & Miswari (2020) menunjukkan bahwa masjid era Sultan Agung berfungsi sebagai pusat pendidikan Islam. Serambi masjid menjadi ruang pembelajaran (ngaji) di mana para ulama mengajarkan ilmu-ilmu keIslaman seperti tafsir, hadits, fiqih, dan tasawuf. Sistem pendidikan ini menjadi cikal bakal pesantren yang kemudian berkembang di Jawa. Sultan Agung sendiri mendorong pengembangan kurikulum yang memadukan ilmu-ilmu Islam dengan pengetahuan Jawa tradisional, menciptakan sintesis intelektual yang menjadi karakteristik Islam Jawa (Mukharomah, 2020).

Masjid era Sultan Agung juga berperan sebagai pusat administrasi keagamaan dan peradilan. Penelitian Handayani & Wasino (2020) menjelaskan bahwa institusi penghulu dan pengadilan agama (surambi) beroperasi di kompleks masjid, menangani urusan pernikahan, perceraian, warisan, dan perkara-perkara lain yang terkait dengan hukum Islam. Melalui fungsi ini, masjid menjadi instrumen efektif dalam proses Islamisasi hukum dan tata kehidupan masyarakat Jawa, menggantikan secara bertahap sistem hukum sebelumnya.

Salah satu peran penting masjid pada era Sultan Agung adalah sebagai pusat dakwah yang mengakomodasi pendekatan kultural. Nuraedah (2020) mencatat bahwa masjid menjadi tempat pertunjukan wayang kulit dengan cerita-cerita yang telah “di-Islam-kan”, upacara gamelan sekaten, dan berbagai bentuk seni yang memadukan nilai-nilai Islam dengan estetika Jawa. Strategi ini merupakan bentuk diplomasi budaya yang efektif dalam proses pengembangan ajaran Islam secara damai di Jawa. Sultan Agung memahami bahwa untuk menarik penduduk Jawa memahami Islam itu diperlukan pendekatan yang tidak frontal tetapi gradual dan akomodatif (Mukharomah, 2020).

Kompleks masjid pada era Sultan Agung seringkali dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti pasar dan tempat persinggahan. Penelitian Wibowo & Anisa (2022) menunjukkan bahwa masjid tidak hanya berfungsi sebagai ruang sakral tetapi juga sebagai ruang sosial dan ekonomi yang menghubungkan berbagai lapisan masyarakat. Pada hari-hari besar keagamaan, masjid menjadi pusat distribusi zakat dan sedekah, memperkuat peran sosialnya dalam masyarakat. Fungsi ini memperkuat legitimasi Sultan sebagai pemimpin yang peduli terhadap kesejahteraan rakyat.

Sultan Agung dengan cerdik menggunakan masjid sebagai instrumen untuk mengkonsolidasi kekuasaan dan memperoleh legitimasi religius. Sebagai penguasa yang berasal dari dinasti baru, Sultan Agung memerlukan bentuk legitimasi yang kuat, dan Islam menyediakan kerangka ideologis yang efektif untuk tujuan tersebut (Fauziah et al., 2021). Dengan memposisikan diri sebagai pemimpin Islam (sultan) sekaligus pewaris tradisi Jawa (susuhunan), Sultan Agung menciptakan sintesis politik-religius yang tercermin dalam institusi masjid. Masjid menjadi simbol visual dari sintesis tersebut, melegitimasi klaim Sultan sebagai pemimpin dua tradisi.

Sultan Agung membangun jaringan ulama yang terorganisir dengan pusat di masjid-masjid keraton dan menyebar ke wilayah-wilayah bawahan. Nasution & Miswari (2020) menjelaskan bahwa jaringan ini berfungsi sebagai sistem kontrol sosial dan politik yang efektif, mentransmisikan kebijakan Sultan sekaligus mengumpulkan informasi dari berbagai wilayah. Para penghulu dan imam masjid yang diangkat oleh Sultan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan pusat, menciptakan birokrasi keagamaan yang loyal dan efektif dalam mengimplementasikan kebijakan Sultan.

Pendekatan perbaduan (sinkretis) Sultan Agung dalam pembangunan dan fungsi masjid mencerminkan strategi budaya yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi Islamisasi tanpa menimbulkan resistensi kultural. Penelitian Handayani & Wasino (2020) menunjukkan bahwa strategi ini terbukti efektif dalam mengakomodasi aspirasi kelompok tradisionalis Jawa sekaligus memenuhi tuntutan ortodoksi Islam. Masjid dengan arsitektur dan fungsi sinkretis menjadi ruang negosiasi kultural di mana identitas baru Jawa-Islam dibentuk dan dikembangkan di bawah patronase Sultan.

Model masjid yang dikembangkan pada era Sultan Agung menjadi prototipe yang bertahan hingga beberapa abad kemudian. Penelitian Wibowo & Anisa (2022) menunjukkan bahwa elemen-elemen arsitektural seperti atap tumpang, serambi, dan orientasi kosmologis tetap dipertahankan dalam pembangunan masjid-masjid tradisional di Jawa hingga era modern. Warisan arsitektural ini merefleksikan keberhasilan Sultan Agung dalam menciptakan model masjid yang berakar pada tradisi lokal sekaligus mengakomodasi prinsip-prinsip Islam.

Fungsi multidimensi masjid yang dikembangkan pada era Sultan Agung memberikan landasan bagi institusionalisasi Islam Jawa yang unik. Supatmo et al. (2023) menegaskan bahwa model integrasi sosial, politik, dan keagamaan melalui institusi masjid menjadi karakteristik distingtif Islam Jawa yang membedakannya dari ekspresi Islam di wilayah lain di Nusantara. Pola relasi antara keraton, ulama, dan masyarakat yang terpusat di masjid membentuk struktur sosial-religius yang bertahan hingga era kolonial dan pasca-kolonial. Pendekatan Sultan Agung dalam menggunakan masjid sebagai pusat "Islamisasi kultural" menjadi model yang kemudian diadopsi oleh penguasa-penguasa Muslim Jawa berikutnya. Menurut Mukharomah (2020), strategi akomodasi kultural ini menciptakan tradisi dakwah yang khas di Jawa, yang memungkinkan Islam berkembang tanpa menghilangkan substansi budaya lokal.

Penutup

Masjid pada era Sultan Agung Mataram tidak sekadar berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi merupakan institusi multidimensi yang menjembatani aspek religius, politik, sosial, dan kultural. Melalui kebijakan yang cerdas, Sultan Agung berhasil mentransformasi masjid menjadi instrumen efektif dalam konsolidasi kekuasaan, pengembangan Islam yang damai, dan pembentukan identitas Jawa-Islam yang unik. Arsitektur dan fungsi masjid pada era tersebut mencerminkan pendekatan sinkretis Sultan Agung yang mengakomodasi tradisi Jawa dalam kerangka Islam. Strategi ini terbukti efektif dalam memfasilitasi transisi kultural tanpa menimbulkan resistensi yang signifikan, sekaligus memperkuat legitimasi Sultan sebagai pemimpin religius dan politik. Warisan Sultan Agung dalam pengembangan institusi masjid memberikan landasan bagi perkembangan Islam Jawa yang berkelanjutan, menciptakan model Islamisasi kultural yang kemudian menjadi karakteristik distingtif Islam di Jawa. Pendekatan ini menawarkan pelajaran berharga tentang bagaimana agama dan budaya dapat berinteraksi secara harmonis dalam konteks masyarakat majemuk.

Dalam hal ini fungsi dan peran keIslaman dari masjid (dan mushola) NU sebenarnya sudah memiliki akar sejarah yang kokoh. Selain sebagai tempat ibadah, masjid mushola NU memiliki peran dan fungsi sosial ekonomi dan budaya yang sudah berlangsung berabad-abad dari masa ke masa. Dimasa kini takmir masjid mushola NU akan meneruskan peran dan fungsi ini sesuai dengan kondisi dan kemampuannya masing-masing. Al-mukhafadlotu 'ala-qodimis-sholih wal-akhdzu bil-jadidil-ashlah, (mempertahankan tradisi lama yang baik dan relevan dan melakukan upaya perbaikan pembaharuan inovasi yang lebih baik lagi maslahat). Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan lahir batin untuk kita semua dalam memakmurkan masjid mushola NU.(*)