Ticker

6/recent/ticker-posts

Aswaja, NU, dan Pengelolaan Masjid Mushola

 


LTMNU(11/6). Perlukah merawat paham Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) dan NU dalam pengelolaan masjid mushola? Sebuah pertanyaan sederhana yang dapat dijawab dengan jawaban: Sangat perlu!

Akan tetapi, mengapa ini menjadi perlu? Jawabannya menjadi panjang.

Paham Aswaja umumnya diterjemahkan sebagai paham keIslaman yang mengikuti pemikiran Imam Asy’ari dan Imam Maturidi dalam berteologi, bermadzhab Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Maliki dalam bersyariat, dan mengikuti tatacara Imam Al-Ghozali dan Imam Junaidi al-Baghdadi dalam bertashawuf. Aswaja dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku menekankan pada prinsip tawassuth (moderasi), tasamuh (toleransi), dan tawazun (keseimbangan).

Terjemahan ini seringkali menjadi hafalan dan pemahaman yang tersederhanakan. Ketika menghadapi kenyataan (realitas) berkaitan dengan pengelolaan masjid mushola NU di daerah (pedesaan), pengertian di atas mengalami sejumlah kendala. Apalagi pengurus takmir masjid/mushola NU belum benar-benar menguasai konsep Aswaja dan praktik-praktiknya di tengah masyarakat. Apalagi pengurus juga belum aktif di dalam organisasi NU dan kurang bergaul dengan kalangan NU sebab kesibukan ini-itu.

Ada dua hal penting yang perlu dikemukakan disini. Pertama terkait dengan penjelasan praktik-praktik Aswaja di kalangan masjid mushola NU. Kedua terkait dengan perlunya penguatan mentalitas Aswaja disitu.

Yang pertama tentang praktik-praktik Aswaja di masjid mushola NU. Praktik-praktik ini sebenarnya sudah mengakar menjadi tradisi di lingkungan masjid mushola NU. Praktik ini berupa kegiatan pengajian kitab-kitab Aswaja, seperti Kitab Aqidatul Awam, Safinatunnajah, dan lainnya. Praktik lainnya seperti qunut sholat subuh, pembacaan Al-Barjanzi, sholawatan, dan lainnya. Praktik-praktik ini kesemuanya akan bersambung sampai pada pemahaman paham Aswaja tersebut di atas. Praktik-praktik ini bersambung dan bersandar pada dasar-dasar paham Aswaja. Hanya saja, praktik-praktik ini acapkali dipraktikkan dengan kurang mengkaji dasar-dasar itu sendiri. Akibatnya praktik ini seringkali diserang sebagai praktik keIslaman yang tidak memiliki dasar dan diberi stempel bid’ah.

Dari persoalan pertama ini, kita sepatutnya untuk kembali memperdalam paham Aswaja seiring pelaksanaan praktik-praktik itu. Kyai, pengurus takmir masjid mushola NU, dan jamaahnya tentunya perlu terus-menerus memperdalam kembali paham Aswaja melalui berbagai kesempatan dan berbagai forum. Kita tentunya juga perlu bergandeng tangan bekerjasama dengan pengurus NU untuk saling melengkapi.

Yang kedua tentang perlunya penguatan mentalitas Aswaja di lingkungan masjid mushola NU. Seiring perjalanan waktu terkadang kita bisa lengah dan lupa. Kita tanpa sadar terkadang membiarkan ucapan dan perbuatan yang dapat merusak ideologi paham Aswaja kita. Kita kadang salah tafsir dalam menjalankan prinsip tawassuth (moderasi), tasamuh (toleransi), dan tawazun (keseimbangan). Pendek kata, kita tiba-tiba tanpa sadar melemah dalam ber-Aswaja. Tiba-tiba kita begitu saja permisif, bahkan tidak peduli, dengan pihak-pihak yang merongrong paham Aswaja kita, baik secara diam-diam maupun terbuka.

Dari yang kedua ini, kita penting untuk memandang diri kita hubungannya dengan organisasi NU dan pengurusnya. Hubungan kita dengan kalangan NU aktif menjadi penting sekali. Tujuannya untuk merawat kekuatan mental kita dalam ber-Aswaja. Kita penting membangun ikatan agar kekuatan mental kita tidak gampang luruh dan rapuh. NU dengan Aswaja, atau Aswaja dengan NU tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan, ibarat gelas dengan isi air putihnya.

Akhirnya, harus kita pahami betul bahwa, masjid mushola NU tanpa praktik-praktik Aswaja akan kehilangan identitas jatidirinya. Bisa-bisa masjid mushola NU akan diambil alih orang lain non-NU. Untuk itu, kita harus membangun hubungan erat bekerjasama dengan pengurus NU di tingkat Ranting (desa), MWCNU (kecamatan), PCNU (kabupaten/kota), dan seterusnya. Agar mentalitas kejuangan kita terpelihara dan sekaligus praktik-praktik Aswaja terawat bersama. Sering bertemu dan saling berkomunikasi merupakan salah satu cara untuk merawat dan memelihara hal itu. Wallohu a’lam.(*)