Untung Surapati dikenal
gagah berani melawan VOC Belanda. Diperkirakan beliau wafat tahun 1706. VOC Belanda
tidak tahu pasti dimana makamnya. Akan tetapi di Clapar masyarakatnya merawat
dengan baik sejumlah peninggalan beliau.
Sayangnya sejumlah peninggalannya
terindikasi dicuri orang. Sebagaimana dikabarkan Jawa Pos Radar Kebumen
(Selasa Kliwon, 15/3), diperkirakan malam Sabtu (12/3) sejumlah pusaka raib
dicuri orang dengan cara mencongkel gembok. Pusaka yang hilang berupa tujuh
bilah keris, dua rombak, dan satu pedang.
Padahal pusaka itu sebenarnya
termasuk yang dilindungi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, dan Rumah Pusaka di Clapar itu pun sudah menjadi Cagar Budaya Kebumen.
Hilangnya pusaka itu menjadi
perbincangan di media sosial. Hilangnya pusaka itu kini sudah dilaporkan pihak
desa kepada pihak aparat. dan tentunya kita tunggu perkembangannya.
Dalam kepercayaan masyarakat
diketahui kain (atau kertas, tulang) yang mengandung rajah dipercaya memiliki daya.
Kain berajah biasanya kemudian menjadi jimat atau azimat bagi pemiliknya.
Udeng
yang terbuat dari sehelai kain ukuran sekitar satu meter persegi ini dipenuhi
dengan tulisan dan bentuk khusus yang disebut rajah. Motifnya simetris, dan
coretannya menandakan serangkaian huruf hijaiyah (Arab). Apakah tanda itu
merupakan lafadz khusus berbahasa Arab, atau itu merupakan jenis Arab pegon, ini
masih ‘misterius’. Menurut sejumlah keterangan yang berhasil dihimpun, coretan
atau tulisan itu tidak boleh dipelajari sembarang orang.
Menurut Ketua Lesbumi NU
Depok Donny Satryo Wibowo, udeng berasal dari kata ‘deng’ yang
berarti pukulan keras atau ikatan yang kuat (https://kerisnews.com
/). Dari kata deng muncul kata udeng-udeng dan mudeng.
Selain berfungsi menahan keringat, udeng berfungsi juga untuk menutup dan
menjaga kepala yang berharga. Secara filosofis udeng menyimbolkan
pentingnya mengikat kuat ilmu yang sudah dipahami (mudeng). Secara
filosofis udeng (iket) dimaknai juga sebagai symbol ngiket manah
(mengikat hati dan pikiran).
Udeng berajah,
secara simbolis menggambarkan betapa pentingnya mengikat ke-mudeng-an
itu sehingga ikatannya pun perlu di-rajah. Tujuannya sangat mungkin
untuk menjaga agar ke-mudeng-an sang pemiliknya ber-daya dan terjaga.
Udeng berajah
dan pemaknaan di seputarnya itu menggambarkan nilai-nilai budaya luhur yang hidup
dan dijunjung masyarakat setempat. Nilai-nilai tentang arti pentingnya ilmu, merawat
ilmu, memahami ilmu, tentang ketenangan hati dan pikiran, dan tentang laku.
Baiklah, kita kembali ke udeng
Clapar.
Udeng berajah
di Rumah Pusaka itu tidak dapat dimaknai sebagai sekedar peninggalan sejarah
belaka. Demikian juga terhadap keris dan tombak di sana. Kita perlu arif
bijaksana dalam memahami nilai-nilai luhur di balik peninggalan itu semua.
Bangsa yang besar adalah
bangsa yang mudeng menghargai jasa pahlawannya.
Wallahu a’lam.
*Agus Salim Chamidi,
dosen IAINU Kebumen