Ticker

6/recent/ticker-posts

Udeng Untung Surapati

 

Ke-mudeng-an dalam Udeng Untung Senapati *

 
Di Kebumen cukup banyak tersimpan artefaks peninggalan bersejarah. Salah satunya berada di Desa Clapar Karanggayam. Sejumlah benda pusaka berada di Rumah Pusaka Untung Surapati Kepadangan Clapar. Benda-benda tersebut antara lain keris, tombak, pakaian, udeng, dan manuskrip. Benda pusaka ini merupakan peninggalan pahlawan nasional Untung Surapati yang dikenal sebagai Eyang Panembahan Kepadangan.


Untung Surapati dikenal gagah berani melawan VOC Belanda. Diperkirakan beliau wafat tahun 1706. VOC Belanda tidak tahu pasti dimana makamnya. Akan tetapi di Clapar masyarakatnya merawat dengan baik sejumlah peninggalan beliau.


Sayangnya sejumlah peninggalannya terindikasi dicuri orang. Sebagaimana dikabarkan Jawa Pos Radar Kebumen (Selasa Kliwon, 15/3), diperkirakan malam Sabtu (12/3) sejumlah pusaka raib dicuri orang dengan cara mencongkel gembok. Pusaka yang hilang berupa tujuh bilah keris, dua rombak, dan satu pedang.


Padahal pusaka itu sebenarnya termasuk yang dilindungi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan Rumah Pusaka di Clapar itu pun sudah menjadi Cagar Budaya Kebumen.


Hilangnya pusaka itu menjadi perbincangan di media sosial. Hilangnya pusaka itu kini sudah dilaporkan pihak desa kepada pihak aparat. dan tentunya kita tunggu perkembangannya.




Baiklah, kita akan membicarakan yang lain yang tidak kalah menariknya. Tulisan ini akan mencoba melihat salah satu peninggalan Untung Surapati yang berupa udeng (iket, ikat kepala). Udeng beliau menarik kita pahami. Lebih menariknya lagi udeng ini mengandung coretan/tulisan yang dipercaya sebagai rajah. Udeng berajah.


Dalam kepercayaan masyarakat diketahui kain (atau kertas, tulang) yang mengandung rajah dipercaya memiliki daya. Kain berajah biasanya kemudian menjadi jimat atau azimat bagi pemiliknya.


Udeng yang terbuat dari sehelai kain ukuran sekitar satu meter persegi ini dipenuhi dengan tulisan dan bentuk khusus yang disebut rajah. Motifnya simetris, dan coretannya menandakan serangkaian huruf hijaiyah (Arab). Apakah tanda itu merupakan lafadz khusus berbahasa Arab, atau itu merupakan jenis Arab pegon, ini masih ‘misterius’. Menurut sejumlah keterangan yang berhasil dihimpun, coretan atau tulisan itu tidak boleh dipelajari sembarang orang.


Percaya atau tidak, nyatanya masih banyak warga masyarakat yang mempercayai daya dari rajah. Demikian juga terhadap udeng (iket). Menurut Gugum Gumelar bahwa memakai udeng berarti sebuah proses untuk menjadi masyarakat native (https://etnis.id/).


Menurut Ketua Lesbumi NU Depok Donny Satryo Wibowo, udeng berasal dari kata ‘deng’ yang berarti pukulan keras atau ikatan yang kuat (https://kerisnews.com /). Dari kata deng muncul kata udeng-udeng dan mudeng. Selain berfungsi menahan keringat, udeng berfungsi juga untuk menutup dan menjaga kepala yang berharga. Secara filosofis udeng menyimbolkan pentingnya mengikat kuat ilmu yang sudah dipahami (mudeng). Secara filosofis udeng (iket) dimaknai juga sebagai symbol ngiket manah (mengikat hati dan pikiran).


Udeng berajah, secara simbolis menggambarkan betapa pentingnya mengikat ke-mudeng-an itu sehingga ikatannya pun perlu di-rajah. Tujuannya sangat mungkin untuk menjaga agar ke-mudeng-an sang pemiliknya ber-daya dan terjaga.


Ada nilai-nilai. Ada nilai-nilai yang dirawat dan dipedomani.


Udeng berajah dan pemaknaan di seputarnya itu menggambarkan nilai-nilai budaya luhur yang hidup dan dijunjung masyarakat setempat. Nilai-nilai tentang arti pentingnya ilmu, merawat ilmu, memahami ilmu, tentang ketenangan hati dan pikiran, dan tentang laku.


Manusia Jawa memahami konsepsi mikrokosmos dan makrokosmos dalam kehidupannya. Kesemuanya akan berujung pada konsepsi hubungan manusia (makhluk) dengan Sang Khalik dan hubungan sesama manusia. Hablu minallah hablu minannaas. Bahwa ke-mudeng-an yang diperolehnya tidak dapat lepas dari hubungannya dengan Sang Khalik dan dengan sesama makhlukNya.

         
Baiklah, kita kembali ke udeng Clapar.


Udeng berajah di Rumah Pusaka itu tidak dapat dimaknai sebagai sekedar peninggalan sejarah belaka. Demikian juga terhadap keris dan tombak di sana. Kita perlu arif bijaksana dalam memahami nilai-nilai luhur di balik peninggalan itu semua.


Kita patut menghargai masyarakat yang merawatnya. Sungguh patut disayangkan apabila ada orang yang meremehkannya apalagi mencurinya.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mudeng menghargai jasa pahlawannya.


Wallahu a’lam.


*Agus Salim Chamidi, dosen IAINU Kebumen

Foto dari https://clapar.kec-karanggayam.kebumenkab.go.id/