Ticker

6/recent/ticker-posts

Pesantren dan Kiprahnya di Masa Kenormalan Baru



Pesantren meminjam  istilah Gus Dur merupakan sebuah ‘subkultur’. Ciri khas pesantren adalah adanya kyai, masjid/mushalla, sistem pembelajaran, santri, dan pondok (asrama), sebagaimana termaktub juga dalam Undang Undang tentang Pesantren Nomor 18/2019 Pasal 5 ayat 2. Sebagai sebuah lembaga Islam, pesantren mengemban amanat yang berat dan kompleks. Selain amanat menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, pesantren juga menyemaikan akhlak budi pekerti mulia berdasarkan ajaran Islam rahmatan lil-‘alamin melalui dunia pendidikan, dakwah Islamiyah, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat. Di dalam bingkai negeri yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, dalam ‘diri’  pesantren melekat tanggungjawab besar, baik kedalam (internal) maupun keluar (eksternal), yang kesemuanya berkelindan berhimpitan kompleks satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, tugas amanat yang diemban kyai sebagai figur utama dunia pesantren memang berat, tidak hanya berdimensi duniawiyah, akan tetapi juga dimensi ukhrawiyah.
Munculnya pandemic covid19 menghadirkan perubahan sosial budaya di tengah masyarakat dunia, dan termasuk dunia pesantren. Dalam sejumlah pemberitaan media, tidak sedikit pesantren yang ‘terpaksa’ memulangkan para santrinya kembali ke rumah masing-masing. Hubungan komunikasi kyai-santri dalam tradisi ‘ngaji’ (belajar) pun mengalami adaptasi budaya dimana sejumlah kegiatan belajar berlangsung secara virtual. Wacana new normal (kenormalan baru) dengan mengedepankan protokol kesehatan pun mengemuka di tengah dunia pesantren.
Bagi kalangan pesantren, proses adaptasi sudah sangat melekat dengan prinsip al-mukhafadzatu ‘alal-qadimish-sholih wal-ahdu bil-jadiidil-ashlah – memelihara tradisi lama yang baik dan menerima tradisi baru yang lebih baik. Adaptasi terhadap kenormalan baru berbasis kesehatan tidak terlalu sulit bagi kalangan pesantren sebagai bagian dari penerimaan terhadap tradisi baru yang baik. Entoch ini juga merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai hifdzu-nafs dalam kulliyatul-khoms  yang sudah dikenal di kalangan pesantren sebagai maqasidusy-syariah. Adaptasi sosial budaya sudah lazim menjadi bagian dari keberlangsungan hidup pesantren selama ini.
Gudykunts dan Kim dalam Communication with Stranger (2003), melihat bahwa adaptasi terjadi dikarenakan adanya motivasi (dorongan) dari individu untuk membangun komunikasi dengan individu lain. Dalam perspektif pesantren, para kyai dan santri melakukan proses adaptasi sebagai bentuk komunikasi langsung/tidak langsung dan simbolik terhadap suatu kebijakan sebagai sebuah pesan. Namun demikian, pesantren yang memiliki kekhasan dan keunikan kultural sendiri akan menerima  pesan sebagai suatu bentuk adaptasi yang melebur sesuai dengan kultur khas pesantren. Ini lazim juga terjadi di dalam banyak komunitas dan masyarakat budaya.
Justru yang patut diperhatikan adalah bagaimana dunia di luar pesantren mampu mengkomunikasikan  pesannya. Bicara kesehatan, pesantren tentu sudah paham benar dengan konsep an-nadlafatu minal-iman, shihhatul-abdan muqaddamun ‘ala shihhatil-adyan, dan lainnya. Persoalan kenormalan baru bukan sekedar persoalan kesehatan an sich dimana di dalamnya berkelindan banyak persoalan sosial ekonomi budaya dan lainnya.  Dunia luar pesantren tetap perlu proporsional. Justru di masa kenormalan baru ini saatnya pesantren kembali membangun dirinya sebagai sosok yang solutif. Para santri pun sudah harus kembali  belajar ‘tafaqquh fiddin’. Sebagaimana sudah banyak diperankan para kyai/nyai dari kalangan pesantren, masa kenormalan baru ini merupakan peluang (opportunity) bagi pesantren tampil kembali memberikan banyak solusi. Otoritas tokoh pesantren yang berdimensikan dunia-akhirat sangat ditunggu peran aktifnya menyuguhkan ragam solusi bagi masyarakat luas. Hal ini sebenarnya sudah berjalan dan dilakukan. Sejak puluhan bahkan ratusan tahun kalangan pesantren  telah kiprah banyak, termasuk masa perjuangan kemerdekaan. Munculnya sejumlah tulisan terkait  fiqih pandemi misalnya merupakan salah satu kiprahnya kekinian, meskipun secara masif masih banyak peluang yang belum maksimal dikelola bersama. Pandemi covid19, dunia dengan kenormalan baru, dan bentuk serupa lainnya memiliki hikmah di baliknya.(*)

Redaksi