Ticker

6/recent/ticker-posts

Sadranan dan Ziarah Kubur

 



Menjelang puasa Ramadlan masyarakat biasa mengadakan kegiatan tradisi nyadran atau sadranan.  Sadranan berasal dari kata ‘sadran’. Sedangkan kata 'sadran' berasal dari Bahasa Sansekerta ‘sraddha’ yang secara harfiyah berarti ‘keyakinan, percaya’. Dari kata ‘sadran’ muncul kata kerja aktif nyadran, yaitu melakukan seangkaian kegiatan sadran/sadranan.

Dalam sadranan/nyadran masyarakat melakukan kegiatan bersih makam (kuburan).  Kegiatan ini 
lazim diselenggarakan pada bulan Ruwah atau Sya’ban, yaitu, bulan  menjelang puasa Ramadlan. Sebab dilaksanakan di bulan Ruwah itu istilah sadranan disebut juga Ruwahan – kegiatan tradisi di bulan Ruwah. 

Dalam masyarakat Muslim istilah 'ruwahan' lebih familiar dibanding istilah nyadran atau sadranan. Ruwahan/sadranan biasanya diselenggarakan sejumlah kegiatan, seperti ziarah kubur berdoa  bagi para leluhur yang sudah meninggal. 

Selain itu diselenggarakan ‘besik’, yaitu bersih-bersih areal makam dari kotoran, rerumputan, dan semak belukar. Dengan kegiatan bersih-bersih ini area makam menjadi bersih dan ‘padhang’ (terang).  Pada makam leluhur masing-masing keluarga, lazim dilakukan tabur bunga, seperti bunga telasih. Kadang ada yang menanam bunga di seputar makam leluhur. Ini bentuk penghormatan kepada makam dan sekaligus kepada leluhur.





Selain itu biasanya  dilakukan upacara ‘kenduren’ (kenduri) yang diikuti bersama warga masyarakat. Dalam acara kenduri lazim dibacakan ayat-ayat Al Quran seperti Surat Yasin, ayat Kursi, dan lainnya. Bacaan lain berupa tahlil, dzikir, shalawat, dan doa bersama. 

Usai kenduri biasanya dilakukan makan bersama yang sudah disiapkan warga masyarakat. Adakalanya sejumlah makanan disiapkan juga untuk dimakan di rumah masing-masing.

Acara makan bersama setelah kenduri biasa dilakukan di sepanjang jalan (gang) dekat makam desa setempat. Warga masyarakat menggelar tikar, daun pisang, dan piranti lain. Makanan yang dibawa dari rumah masing-masing akan dimakan bersama-sama sepanjang tikar dan daun pisang. Makanan yang siapkan biasanya nasi atau nasi oyek, ingkung ayam jantan, sambal goreng ati, telor, urap sayur, bergedel, kerupuk, rempeyek, tempe, tahu, serundeng, dan lainnya.
 
Sejarah sadranan atau ruwahan diperkirakan sudah berkembang pada masa Walisongo abad ke-15. Para wali menyelaraskan tradisi budaya sadranan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Sadranan dimaknai ziarah kubur untuk dzikrul-maut (mengingat mati) dan birrul-walidain (berbakti dan berterimakasih pada orangtua). 

Apabila dipahami mendalam sadranan memuat adanya keyakinan masyarakat tentang kehidupan selanjutnya setelah hidup di dunia yang fana, yaitu, kehidupan di alam kubur dan akhirat. Pada gilirannya sadranan menyadarkan kita untuk mengingat mati, berbakti pada orangtua, dan memperlembut hati dan jiwa. Sadranan  sekaligus membangunkan diri manusia untuk menjalani hidupnya lebih teguh dan bermanfaat kedepan.

Di beberapa tempat di Kebumen tradisi sadranan/ruwahan mempunyai sebutan lain, seperti ‘gombrang’,’besik kubur’. Selain itu masyarakat juga biasa mentradisikan berziarah di makam  para kyai/ulama, makam gurunya,  dan  makam wali dalam  bulan Ruwah atau Sya’ban. 





Apabila kita pahami mendalam sadranan/ruwahan dan ziarah kubur ternyata memiliki banyak manfaat. Di antaranya rasa  kemanusiaan manusia sebagai hamba Allah SWT kembali segar dan menguat, silaturahim dan kebersamaan warga masyarakat jadi lebih terjaga. Areal bumi makam pun menjadi lebih bersih dan ‘padhang’.(*)


(KabarNU, dari berbagai sumber)