Buku:
Allah dan Alam Semesta, Perspektif Tasawuf Falsafi
Prof Dr KH Said Aqil Siroj MA
Yayasan Said Aqil Siroj Jakarta 2021, x+396
Menjelajahi Pemikiran Tasawuf
Falsafi
Bersama Kyai Said Aqil Siroj
Fauzi Al Muhtad MAg
*
Proses untuk mencapai kemajuan
tentunya harus melalui belajar yang disiplin agar memperoleh suatu kemajuan.
Pemikiran seperti inilah di kalangan umat Islam dikenal dengan istilah tsaqofah dan hadlarah yang merupakan warisan yang unggul dalam peradaban umat
Islam.
Melalui Tasawuf Falsafi yang muncul
pada abad 3 Hijriyah atau 9 Masehi secara signifikan, secara metodologis yang dikonstrusikan oleh
Ma’ruf Al-Karkhi yang merupakan sanad
pertama para sufi yang meletakkan dasar
pengertian tasawuf. Menurutnya, tasawuf adalah merengkuh segenap hakikat Ilahi,
dan berpaling serta menanggalkan segenap yang ada di tangan makhluk. Pemikiran
tasawuf falsafi berkontribusi mengangkat pemahaman Islam yang universal dan
substantif itu, melalui upaya penyegaran tingkat keberagamaan yang bersifat
pendalaman dan peresapan.
Disinilah tasawuf sebagai aspek akhlak (ihsan) dalam Islam merupakan puncak subsatansi keislaman. Sedangkan pencapaian tertinggi tasawuf falsafi itu terletak pada pemikiran Ibnu Arabi tentang konsep wahdatu-l-wujud sebagai salah satu alternatif solusi memahami problem hubungan antara Allah dan Alam Semesta.
Tentang
Buku ini
Buku ini berasal disertasi Prof Dr KH SaidAqil Siroj MA yang berjudul
Shilatul-llah bil-kawn fit-Tashawwuf
al-Falsafi di bawah bimbingan Prof Dr Ahmad Khawaji yang diujikan pada
tanggal 18 April 1994/7 Dzulqa’dah 1414
H dengan menghasilkan predikat Summa
Cumlaude pada Jurusan Aqidah Filsafat Kulliyyah Ushuluddin di Universitas
Ummul Qurra Mekkah al-Mukarramah.
Buku yang ditulis oleh Prof Dr KH Said Aqil
Siroj MA yang sering akrab dipanggil Kyai Said ini, berbicara mengenai suatu
tema yang masih kurang dijelajahi dalam studi-studi pemikiran dan sejarah
peradaban Islam. Yakni tasawuf falsafi yang merupakan salah satu keunggulan
peradaban umat Islam dan pernah menorehkan tinta emas dalam sejarah Islam.
Tasawuf hadlarah, umat Islam, dengan sumbangsihnya yang positif bagi
pengkayaan kehidupan umat manusia di bidang spiritual.
Dalam buku ini diulas tentang sejarah,
teks dan pemikiran para sufi agug serta membahas sejarah kemunculan,
perkembangan dan konsep-konsep tasawuf falsafi yang hingga kini masih banyak
ditafsirkan secara keliru oleh khalayak.
Pada bagian pertama, Kyai Said menguraikan
pengertian tasawuf, konsep epistemologis untuk menambahkan dasar pengeretahuan
tasawuf, seperti kontribusi Ma’ruf
Al-Karkhi yang pertama kali dengan gelar Guru Besar (Masyikhatu-l-Masyayikh) dengan memperkenalkan bentuk tarekat dalam
tasawuf dengan mengangkat ide tentang al-wilayah
(konsep kewalian tasawuf). Menurutnya tanda para Waliyullah ada 3 ciri yaitu, (1)senantiasa hatinya penuh dengan pikiran tentang Allah; (2)penuh kesibukan
pada-Nya; dan (3)berlari kepada-Nya (hal. 59).
Kemudian kontribusi Dzu-n-Nun
al-Mishri diuraikan dengan apik oleh Kyai Said sebagai peletak dasar tasawuf
falsafi (Theosophical Sufism) melalui
teori ma’rifat dan teori cinta (yang hakiki). Dzu-n-Nun mengatakan bahwa ’Arafatu Rabbi bi Rabbi, Walaula Rabbi Ma’riafatu
Rabbi (Saya mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku, Seandainya tidak karena
Tuhanku, maka aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Dalam teorinya Dzu-n-Nun
meletakkan dasar tasawuf falsafi dengan prinsip bahwa: (1)menciptakan bahasa
simbolik “bejana cinta” kepada al-Haq; (2)definisi wajdi (luapan eksotik
spiritual ectasy) dan sama’ (mendengar
lantunan suara musik); (3)musik adalah suatu kebenaran yang datang dari atas,
yang bisa membangkitkan hati menuju kepada Yang Haq, dengan mengatakan:
“Barangsiapa yang mendengarkan musik dengan benar, maka akan mendapatkan
hakikat. Sebaliknya, siapa yang mendengarkan musik dengan hawa nafsu, maka ia
menjadi zindiq (rusak agamanya).
Sedangkan suara dan lagu-lagu merdu menurut Dzu-n-Nun adalah khitab (ruang komunikasi) dan isyarat
dari Allah melalui penyanyi laki-laki dan perempuan (hal. 66-72).
Pada bagian kedua, Kyai Said
menguraikan Ma’rifatullah (mengenal
Allah). Menurut Dzu-n-Nun Al-Mishri, Ma’rifat
adalah sebagian ilmu yang paling mulia, yang diperoleh melalui visi dan
kesaksian dalam hati. Adapun Al-Hallaj membangun filsafat ma’rifat dengan teori
al-Hulul yakni bersemayamnya unsur
Ilahi (lahut) ke dalam unsur manusia
(nasut) sebagai manifestasi (tajjali) dengan ide titik (nuqthah) yaitu asal dari segala garis.
Bagian ketiga, Kyai Said menguraikan
tentang Tauhid berbagai ahli tasawuf
seperti Junaidi al-Baghdadi dan Al-Ghazali. Menurut Junaidi Al-Baghdadi, Guru
Besar dan Master Para Sufi (Syaikhu
al-Thaifah) membagi tauhid empat yaitu: (1)tauhid orang-orang
awam (keesaan Allah); (2)tauhid orang-orang ahli agama (pengakuan keesaan
Allah); (3 dan 4)tauhid oramg-orang khusus dan kaum ma’rifat (al-khawwash) yaitu menjauhi lahir batin
dan inti kesesuaian nyata antara kesaksian dan visi akan kehadiran Yang Haq. Tauhid
menurut Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin intinya yaitu: (1)mengucapkan lafadz Laailaaha Illallah; (2)mengakui makna
yang terkandung dalam kalimat tauhid; (3)memandang dan menyaksikan dengan
hatinya akan keesaan Allah dengan kasyaf;
dan (4)tiada yang mereka lihat dalam wujud Esa ada, melalui jalan musyahadah (kontemplasi) dan visi) dan Shidiq (percaya penuh dan tulus).
Suhrawardi al-Maqtul mengatakan bahwa penghapus ketegangan metodologis antara
hikmah dan para falsafius versus kasyf kaum sufi terletak pada Filsafat Iluminasionisme
(Hikmatul-Isyraq) yaitu rincian
cahaya primordial (pertama) sebagai fenomena awal penciptaan dari Sang Wujud.
Bagian keempat, Kyai Said
menguraikan tentang Fana (dalam arti
tidak terpesona melihat keindahan Tuhan dan tidak lagi menyadari apa saja
selain Tuhan) sebagai pondasi kaum sufi bagi tasawuf amali dan tasawuf falsafi
melalui pemikiran tasawuf Abdul Jabbar An-Nifari dengan teori Waqfah
(tingkatan tertinggi dari hirarkhi fana).
Bagian kelima, Kyai Said menguraikan
tentang Hulul sebagai gagasan yang
mengakui bahwa Allah bersemayam dalam diri manusia atau benda-benda di alam
ini. Al-Hulul merupakan pengalaman
batiniyah dengan Tuhan yang diungkapkan kepada masyarakat umum. Seperti
perkataan “Ana al-Haqq” yang diungkapkan Al-Hallaj.
Bagian keenam, Kyai Said
menguraikan tentang Ittihad sebagai
pengalaman spiritual yang dialami sang Sufi dalam kondisi fana dimana ia
menyatukan dirinya dengan Allah, Menurut Faridudin al-Aththar mengatakan bahwa
relasi antara Allah manusia dan alam seperti hubungan laut dan setetes air.
Laut dimaknai Allah dan setetes air dimaknai alam dan manusia.
Bagian ketujuh, Kyai Said menguraikan secara khusus tentang Wahdatul Wujud (Pantheisme) dalam arti kesatuan wujud atau puncak pencapaian tasawuf falsafi, bentuk final perjalananannya dalam masyarakat Islam. Seorang Ibnu Arabi bergelar Sulthanul Arifin yang terurai dalam dua kitabnya yaitu al-Futuhat al-Makiyyah dan Fushshu-l-Hikam. Tujuan dari kedua kitab tersebut adalah mencari hakikat ketuhanan yang termanifestasi (tajalli) dalam kondisi yang paling sempurna seperti para Nabi-Nabi. Dalam Wahdatul Wujud Ibnu Arabi ada delapan prinsip dasar yakni: (1)relasi Allah dan Alam (dialektis gnosis); (2)relasi Allah dan Manusia; (3)Haqiqatul Muhammad (Insan Kami); (4)Allah dan Sifat-sifat-Nya; (5)Transendensi atau Tanzih dan Imanensi atau Tasybih; (6)Emanasi atau Faidl yang merupakan pancaran suci dan manifestasi atau tajalli; (7)Al-A’yan ats-Tsabitah (bentuk-bentuk (prototype laten) : Ada dan Mengada sebagai hakikat realitas segala sesuatu atau Ada yang bermakna esensi, ilmu, lafadz dan wacana serta wujd sesuatu itu dalam tulisannya; dan (8) Kemajemukan dan Kesatuan Agama-Agama (Islam, Nasrani dan Yahudi) sebutannya beda namun maksudnya sama. Dalam pemikiran Tasawufnya Ibnu Arabi menggunakan metode dan argumentasi dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Kontribusi Buku ini
Bagi seorang yang hendak mengkaji
tasawuf, terutama tasawuf falsafi, pengetahuan yang mumpuni tentang ajaran
dasar agama Islam harus menjadi bekal utama Al-Qur’an dan al-Hadits harus
selalu menjadi pegangan dasarnya. Pengetahuan atas dua sumber utama ini mutlak
disyaratkan sebelum bergumul ke dalam samudera luas pengetahuan obyek studinya
tersebut. Karena tasawuf falsafi merupakan sebuah tradisi agung dengan sekian
tumpukan literatur yang panjang dan mengandung sekian banyak ide, ajaran dan
pemikiran yang beragam, saling berbeda dan bahkan bertubrukan. Karena tasawuf
mistisisme, seperti diungkapkan oleh Dr. Abu al-Wafa at-Taftazani, merupakan
fenomena yang umum ditemukan dalam setiap agama-agama dan beragam peradaban
dalam sekian rentang waktu dan periode tertentu. Fenomena itu menujukkan
dirinya sebagai sebuah pengalaman batin spiritual yang khas dan spesifik.
Buku ini berawal dari disertasi Prof Dr KH Said Aqil Siroj MA yang berjudul Shilatul-llah bil-kawn fit-Tashawwuf al-Falsafi yang mengulas sejarah, teks dan pemikiran para sufi agung serta membahas sejarah kemunculan, perkembangan dan konsep-konsep tasawuf falsafi yang hingga kini masih banyak ditafsirkan secara keliru.oleh khalayak. Pemikir Barat pun sempat melirik kepada warisan Timur dan beralihnya kearah tradisi intelektual dan spiritual Islam. Kontribusi buku ini dapat ditemukan sumber daya kultural-spiritual yang dapat membantu menghidupkan kembali apa yang telah hilang dan mengoreksi alam psikis dan ketidakseimbangan spiritual peradaban mereka. Khazanah tasawuf Islam ini membuka jiwa dan kesadaran pemikr Barat untuk sebuah kemungkinan memahami alam ini dan relasinya dengan Tuhan secara lebih baru dan memuaskan.[]
Perensensi: Fauzi Al Muhtad MAg adalah Dosen STIS Kebumen, Ketua Badan Pelaksana Penyelenggara Universitas Ma’arif Nahdlatul Ulama (BPP UMNU) Kebumen Jawa Tengah.