Ticker

6/recent/ticker-posts

Cerpen: Hidup



HIDUP TERARAH





Sendiri Alex duduk di ruang tamu. Rasa jenuh pun telah menyerangnya. Ia tidak mempedulikan lagi hilir mudik orang keluar masuk di sekelilingnya. Sudah hampir satu jam ia menunggu Husni teman sekelas saat sekolah dulu. Husni seorang pengusaha muda yang sukses, dan kini ia akan menemui.
“Wow, Alex!”
“Sorry, bung! Jalan macet!”
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seruan seorang lelaki yang sudah berdiri di dekatnya. Husni!, pekiknya dalam hati sambil berdiri. Ia pun segera menjabat tangan Husni yang sudah tersodorkan lebih dulu. Ia pandangi sebentar teman lamanya. Ia hampir tak percaya dengan penampilan Husni yang  sangat sederhana.  
“Yuk, Lex! Kita ngobrol di ruanganku saja”, ajak Husni sambil merangkul pundaknya.
Ia pun bagai kerbau dicucuk hidungnya. Ia mengikuti saja ajakan Husni. Kondisi dirinya yang sedang  limbung menjalani hidup membuatnya banyak kecil hati dan sulit berpikir. Ia pasrah menurut saja apa kemauan temannya. Melihat penampilan Husni pun ia semakin bingung harus bilang apa.  


=0=


Alex sudah banyak cerita pada Husni melalui handphonenya. Sudah setengah tahun selepas selesai kuliah dirinya  belum dapat pekerjaan. Ia jadi bingung.  Ia sudah melamar pekerjaan kemana-mana, dan hasilnya nihil. Ia hampir frustasi. Beruntung ia teringat Husni yang ia dengar sukses berbisnis setelah tamat sekolah. Awalnya ia gengsi. Namun,  ia akhirnya justru ingin menemui. Apalagi Husni sendiri sudah pernah mencarinya ke rumah dan belum bertemu dirinya.
“Kamu dulu siswa pintar, Lex! Kamu juga beberapa kali mewakili sekolah dalam beberapa lomba. Tak elok kamu gampang menyerah, kawan!”, ucap Husni sambil menyuguhkan secangkir  kopi hitam panas di hadapan Alex.
Alex diam saja. Ia menyeruput kopi hitam. Matanya mengikuti gerak Husni yang duduk di meja kerjanya. Ia lihat Husni meletakkan cangkir kopinya. Ia lihat Husni tidak langsung meminumnya, tetapi justru menjumput miniatur patung pemain ebleg yang sedang naik eblegnya.
“Ayahku dulu terlibat dalam grup ebleg. Beliau terkenal. Dan, dari beliau aku belajar banyak hal”, kata Husni sambil meletakkan kembali miniatur patung itu.
“Aku tidak akan bercerita soal ebleg, kawan. Namun, dari ayahku kemudian aku menempa diri tentang arti hidup”, jelasnya.
“Aku bisnis seputaran dunia seni dan budaya setamat sekolah. Aku bersyukur bisnisku lancar. Kini aku tengah merambah juga bisnis kuliner,  ke beberapa kota. Mengembangkan diri”, jelasnya lagi.
Alex masih diam. Ia sedikit merasa sebal ketika ia merasakan Husni malahan bercerita dirinya sendiri. Ia jadi kecut.
“Aku bekerja sambil kuliah S2 di sini, Lex”, ucap  Husni.
“Aku tidak pamer, kawan. Maaf kalau aku terkesan pamer. Tidak!”, tegasnya lagi  dengan raut wajah serius.
“Ini soal pilihan hidup, kawan. Ini soal memilih hidup yang terarah saja. Sederhana”, katanya lagi sambil lurus menatap bola mata Alex.
Alex membalas tatapan Husni. Kemudian ia menyurutkan pandangannya. Matanya mengarah ke cangkir di atas meja. Dahi mengernyit tajam. Ia mulai tertarik dengan perkataan Husni.
“Bagaimana itu jelasnya, Hus?”, tanya Alex sedikit gagap.
“Simpel! Ebleg itu identik dengan ayahku. Ayahku dikenal. Dan ayahku pun berbisnis di seputaran ebleg dan keterkenalannya. Bisnisnya lancar”, ucap Husni mengawali penjelasannya.
“Dan, mulailah kamu hidup dari siapa kamu, Lex! Apa cerita tentang kamu yang paling top?, dan mulailah hidup dari situ!”, tandasnya sambil mengambil cangkir kopinya.
Mendengar ucapan Husni, Alex kaget. Ia tidak menyangka teman lamanya akan mengucapkan sesuatu yang terasa asing baginya. Ia sarjana. Namun, ia merasa seperti mendapatkan asupan pelajaran baru. Bahkan ia merasa kata-kata itu tidak pernah ia dengar selama kuliah di jurusan sastra.
“Terakhir aku pernah terlibat dalam dunia tulis menulis, Hus. Dan aku suka menulis artikel dan berita”, kata Alex lirih.
“Terserah kamu, Lex!”, sahut Husni cepat.
“Menulis, menyanyi, melukis, bisnis, atau apa saja, itu terserah. Pilihlah yang kamu kuasai. It’s about your life! Itu hidupmu, dan itu pilihanmu”, ucapnya dengan mimik serius.
“Yang penting bagaimana kamu memilih hidup yang terarah saja, Lex! Untukmu sendiri, Lex!”, tegasnya kemudian.
“Yang terarah? Hidup yang terarah?”, tanya Alex agak bingung.
“Ya, hidup yang memiliki rencana, dan rencana itu dilakukan! Bukan sekedar rencana!”, jawab Husni tegas.
“Hari ini kamu merencanakan datang ke sini bertemu aku, dan kamu telah melakukan rencanamu. Kamu sudah bertindak. Itu maksudku, Lex!”, jelasnya.
Alex terdiam. Ia mengernyitkan dahinya. Wajahnya menggambarkan ia tengah berpikir akan sesuatu. Kemudian ia meraih cangkir kopinya. Ia menyeruputnya beberapa kali seruputan. Lalu ia meletakkan cangkir itu di atas meja kerja Husni.
“Bagaimana cara hidup terarah, Hus?”, tanyanya kemudian.
“Dan, yang jelas ... aku butuh pekerjaan. Aku butuh bekerja!”, katanya jujur.
Alex menatap Husni sejenak. Kembali ia meluruhkan pandangannya ke meja. Ia dihinggapi rasa malu. Namun, ia harus jujur.
“Ada beberapa langkah untuk menjadi hidup kita terarah, Lex!”, ucap Husni kemudian.
Alex mendongak. Ia tertarik. Ia berharap. Ia butuh lepas dari kungkungan ketidakpastiannya sendiri.
“Yang pertama, ibarat sebuah cerita, letakkan dirimu sebagai tokoh utama cerita”, jelas Husni santai tanpa beban.
“Kedua, keluarlah dari zona nyaman. Buang jauh kekhawatiran dan ketakutan! Okey?”, kata Husni seraya bertanya.
Alex mengangguk mengiyakan.
“Lalu,  kalau sudah siap jadi tokoh utama dan membuang kekhawatiran dan ketakutanmu, lalu kamu pergunakan kekuatanmu. Kelebihanmu, Lex!”, terang Husni kemudian.
“Jadi?”,  kata Alex refleks.
“Yang terakhir, lakukan! Now or never! Lakukan saja!”, kata Husni tanpa peduli perkataan Alex.
“Jadi?”, kata Alex lagi.
“Kamu simpulkan sendiri, Lex! Kamu sarjana, kawan ... Ayo!”, ucap Husni sambil terkekeh ringan.
Alex mengernyitkan dahinya. Ia berpikir. Ia merasa tertantang untuk membuat kesimpulan yang tepat. Sejenak ia tatap bola mata Husni yang masih tersenyum dan memandangnya.
 “Jadi, sebab aku punya kelebihan menulis ... maka aku lakukan saja menulis apa yang aku sukai ... dengan tanpa  rasa khawatir dan takut tidak berhasil. Begitu, Hus?”, kata Alex mencoba menarik kesimpulan.
“Ya, Lex! Sederhana, bukan?!?”, tanggap Husni sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.
Alex merespons dengan senyuman kecil. Ia terdiam kembali. Ia merangkai kembali pemahaman baru yang baru saja ia dapatkan dari Husni teman sekolahnya. Ia kini jadi merasa lebih bergairah menghadapi hidupnya.
“Sebentar, Hus! Ngomong-ngomong, bagaimana aku bisa menemukan tujuan hidupku sendiri?, sementara aku sering buntu bagaimana aku harus memulainya? Ini serius, Hus!”, kata Alex sambil memandang Husni dengan pandangan penuh harapan.
“Baiklah, kawan ... . Aku memberi contoh diriku saja, Lex! Ya, kalau aku sich beranjak dari pertanyaanku sendiri, Lex”, jawab Husni.
“Apa yang aku tangisi? Apa yang membuat aku puas dan bahagia? Dan,  apa kekuatanku untuk meraih kesuksesan?”, imbuhnya kemudian sambil menghitung dengan jari tangannya.
“Tiga pertanyaan, Hus! Dan, jelasnya?”, sela Alex.
“Kamu khan tadi ngomong sendiri kalau kamu butuh pekerjaan ... butuh uang! Itu berarti kamu butuh pekerjaan yang menghasilkan uang. Itulah yang kamu tangisi sebab kamu masih menganggur. Pekerjaan dan uang itulah yang  akan membuat kamu puas dan bahagia.  Pendek kata, begitu khan, Lex ?!?”,  papar Husni dengan ekspresi serius.
“Lalu?”, sela Alex lagi sambil mengangguk-angguk mengiyakan.
“Aku dengar tadi kamu ngomong kalau kamu pernah terlibat dalam dunia tulis menulis, dan kamu suka menulis artikel dan berita. Betul khan omonganmu begitu, Lex?”, ungkap Husni.
“Artinya?”, sela Alex bertanya.
“Kamu simpulkan sendiri, Lex”, tanggap Husni cepat sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi tempat duduknya.
“Maaf, Lex! Tidak mau aku dituduh mengolok-olok kawan sendiri, Lex”, katanya kemudian sambil tersenyum gembira.
Terkekeh Alex mendengar kalimat terakhir Husni. Ia paham. Ia terkekeh sambil berpikir kesimpulan yang harus ia buat.
“Kesimpulannya, ya aku bekerja dengan kekuatanku, dengan kemampuanku menulis artikel dan berita”, kata Alex  dengan wajah gembira.
“Dan, aku harus menjadi sentral, dengan tanpa rasa khawatir dan takut!”, imbuhnya sambil tersenyum puas.
“Woowww, mantap!”, seru Husni sambil mengacungi jempol.
“Ya, Hus! Aku jadi ingat banyak hal yang perlu aku tulis!”  seru Alex berbinar-binar.
“Terima kasih, Hus. Aku jadi paham tentang hidup yang terarah”, katanya kemudian.
“Baiklah, Lex! Satu hal yang penting aku tanyakan kepadamu, Lex”, kata Husni meminta perhatian Alex.
“Apa itu, Hus?”, tanya Alex cepat.
“Apakah kamu punya teman di koran online, majalah online, atau penerbit misalnya?”, tanya Husni.
“Ya. Ada! Aku optimis tulisanku bisa jadi duit, Hus!”,  tanggap Alex senang.
“Diam-diam ini bisa jadi pekerjaanku, Hus! Dan, dan aku tidak perlu kesana-kesini melamar pekerjaan, Hus!”, katanya bungah.
“Okey, Lex”, kata Husni sambil membuka laci meja kerjanya.
“Ini uang, Lex! Ini stimulan saja. Ini untuk kamu, Lex!”, ucap Husni sambil menyodorkan sebuah amplop berisi uang ke depan Alex.
“Lho? Koq jadi begini?”, tanya Alex bengong.
“Buktikan saja, Lex!  Ambil amplop itu! Buktikan kamu bekerja! Tulislah tentang ebleg! Jadikan artikel atau berita!”, ucap Husni setengah menantang.
“Soal kuliner juga boleh, nanti!”, imbuhnya.
“Yang lain juga oke!”, tandasnya.
“Oke. Siap! Akan aku buktikan, sobat!”, ucap Alex sambil mengambil amplop ‘stimulan’ dari Husni, lalu beranjak berdiri dari kursi tempat duduknya.
Tiba-tiba pintu ruang kerja Husni diketuk. Lalu seorang perempuan muda manis masuk. Setelah mengangguk sopan, ia berkata dengan suara lembut namun jelas.
“Maaf, Pak Husni”, ucap perempuan itu.
“Ya. Ada apa, Ros?”, tanya Husni cepat.
“Tamu dari televisi, dan  Pak Marlon dari Suriname sudah menunggu di depan”, jelas perempuan yang dipanggil Ros.
“Astaga! Okey, siap!”, pekik Husni sambil beranjak dari kursinya.
“Yuk, Lex! Kita temui mereka!”,  ajak Husni sambil merangkul pundak Alex.
“Ini soal apa yang tadi kita bicarakan, Lex. Santai saja ... . Mereka tertarik dengan tawaranku soal ebleg”, jelas Husni sambil berjalan.


=0=


Alex  kembali terbengong kagum. Sejenak ia pandangi wajah Husni sambil tersenyum dan  menggelengkan kepala. Teman yang membanggakan!, pekiknya dalam hati.
Alex menyadari kini.  Rupanya Husni telah lama menemukan jalan hidupnya yang terarah. Bahkan kini Husni mengembangkan kemampuan dan kelebihannya  kemana-mana. Husni menggarap kuliner, dan bahkan ia mengemas kesenian  ebleg lebih mengglobal.
Alex terpacu. Aku harus berguru pada Husni!, batinnya. Kini ia bergairah kembali  menghadapi masa depan. Hidup terarah! Aku pasti bisa!, tegasnya dalam hati.
Hidup memang kudu terarah!, katanya lagi sambil mengingat kembali inti percakapannya dengan Husni. Matanya binar berseri.


=000=






Sumber: 
Kumpulan Cerpen HAS Chamidi