Ticker

6/recent/ticker-posts

Rabi'ah al 'Adawiyah Ibu Para Sufi Besar



kabarNU(31/12)- Dunia Islam mengenal satu waliyullah perempuan aliran sunni yang kondang bernama Rabi’ah al ‘Adawiyah. Dari berbagai sumber diketahui bahwa beliau diperkirakan lahir pada 713-717 M (95-99 H) di Kota Basrah Iraq di era kekhalifahan Umayyah Al Walid bin Abdul Malik (705-715M). Sang waliyullah wafat sekitar tahun 801 M (185 H) pada usia 83 tahun. Dipercaya beliau wafat pada tanggal 17 Jumadil Awal dan diselenggarakan khaul pada tiap tanggal tersebut.

Waliyullah Rabi’ah memiliki nama lengkap Rabi’ah binti Ismail al ‘Adawiyah al Bashriyah. Beliau dikenal juga dengan nama Rabi’ah binti Ismail bin Hasan bin Zaid bin Ali bin Abi Thalib. Rabi’ah merupakan klien (mawlat) dari klan al ‘Atik dari suku Qays. Suku Qays sendiri merupakan kumpulan suku-suku Arab yang bercabang dari Bani Mudhor.

Rabi’ah dijuluki sebagai “the mother of the grand master” – ibu para sufi besar – karena kezuhudannya. Beliau bukan tipe orang yang mudah menerima pemberian orang lain. Beliau begitu zuhud dan seringkali menolak pemberian orang lain. Beliau akan dengan jujur mengatakan: “Aku tidak terlalu berhajat pada dunia”.

Beliau menjadi pemimpin dari para murid perempuan dan para zahidah (kaum zuhud perempuan). Beliau pun menjadi panutan para sufi seperti Ibnu al Faridh, Dzun Nun al Mushri, dan lainnya. Banyak ulama yang menaruh hormat kepadanya, seperti Sufyan At-Tsauri, Al-Hasan Al-Bashri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq Al-Balkhi.

Kewalian Rabi’ah al ‘Adawiyah dikategorikan sebagai khawashul khawash (superistimewa) menurut tingkatan Imam Al-Ghazali. Jika kebanyakan orang beristighfar atau meminta ampunan Allah atas dosa, beliau beristighfar untuk ibadah yang tidak sempurna. Beliau memandang diri ibadahnya penuh kekurangan baik secara lahiriyah maupun batiniyah sebab masih tercampur niat-niat yang kurang tulus dan segala penyakit batin yang menyertai ibadahnya. Ucapan beliau yang populer adalah “Istighfāruna yahtāju ilā istigfārin” – istighfar atau permohonan ampun kita (ibadah kita) perlu juga dimintakan ampun kembali.  (Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin; An-Nawawi, Al-Adzkar; dan As-Sya’rani, At-Thabaqatul Kubra).

Rabi'ah dikenal sebagai sufi mazhab cinta. Salah satu Syarah Al-Hikam mengutip syair yang cukup mewakili pandangan sufistiknya. Syair Rabi'ah itu diterjemahkan dalam tiga larik berikut ini: //Semuanya menyembah-Mu karena takut neraka. Mereka menganggap keselamatan darinya sebagai bagian (untung) melimpah.// Atau mereka menempati surga, lalu  mendapatkan istana dan meminum air Salsabila// Bagiku tidak ada bagian surga dan neraka. Aku tidak menginginkan atas cintaku imbalan pengganti//.

Nama Rabi’ah berarti anak perempuan keempat dari empat bersaudara. Beliau terlahir dari keluarga yang sangat miskin. Menjelang kelahirannya, keluarga Ismail ayahnya dalam kondisi sangat buruk tanpa memiliki uang dan lampu penerangan. Lahirlah jabang bayi perempuan keempat dan diberi nama Rabi’ah. Namun, beberapa hari setelah kelahirannya, sang ayah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpinya Nabi SAW berpesan agar jangan bersedih sebab anaknya kelak akan menjadi perempuan mulia dan banyak orang mengharap syafaatnya.

Di masa muda Rabi’ah sudah yatim piatu. Ayah ibunya hanya meninggalkan sebuah perahu yang kemudian dipergunakannya untuk mencari nafkah menyeberangkan orang-orang di tepian Sungai Dajlah (Tigris). Sementara ketiga saudarinya bekerja di rumah untuk memintal benang dan menenun kain.

Pada saat Basrah dilanda bencana kemarau panjang, Rabi’ah dan ketiga saudarinya memutuskan untuk berkelana bertahan hidup. Malangnya, beliau terpisah dari ketiga saudarinya. Beliau pun diculik dan dijadikan budak belian, dan diperdagangkan seharga enam dirham. Beliau menjadi budak belian pada seorang pedagang yang kejam yang memaksanya bekerja keras sepanjang siang hari. Beliau manfaatkan malam harinya untuk bermunajat kepada Allah SWT, hingga kemudian beliau berikrar bahwa jika bebas dari perbudakan beliau tidak akan berhenti sedikitpun beribadah kepada Allah SWT.

Dikisahkan bahwa pada suatu malam saat Rabi’ah bermunajat, sang majikannya mendapati secercah cahaya lentera di atas kepala Rabi’ah tanpa seutas tali gantungan. Cahaya ini merupakan cahaya rahmat Allah SWT yang mampu menerangi seluruh ruangan rumah. Sang majikan pun ketakutan, dan keesokan harinya Rabi’ah dibebaskan tanpa syarat dari perbudakan. Bahkan sang majikannya mencoba menawarkan bekal, akan tetapi dengan kezuhudannya Rabi’ah menolak sebab beliau akan memulai pengabdiannya hanya kepada Allah SWT.

Sang waliyullah pun mengembara, dan kemudian menetap di suatu desa di Basrah. Kebiasaan beliau adalah menghabiskan malam untuk bermunajat kepada Allah SWT, dan dari beliau muncul syair-syair kecintaannya kepada Allah SWT. Kewaliannya pun kemudian menyebar luas. Banyak orang menjadi murid beliau. Beliau pun menggelar majelis bertukar pikiran bersama para sufi dan zahid/zahidah lainnya, di antaranya Malik bin Dinar (wafat 748M/130H), Sufyan al Tsauri (wafat 778M/161H), dan Syaqiq al Balkhi (wafat 810M/194H).

Waliyullah Rabi’ah dikenal cerdas dan taat. Banyak lelaki mencoba melamarnya. Di antaranya Abdul Wahid bin Zaid seorang ulama, Muhammad bin Sulaiman al Hasyimi seorang amir (penguasa) dari dinasti Abbasiyah. Di dalam riwayat lain disebutkan juga bahwa seorang sufi besar Hasan al Bashri mencoba melamarnya. Kesemuanya beliau tolak sebab beliau ingin istiqamah  hanya mencintai Allah SWT. Sampai akhir hayatnya beliau tidak menikah meskipun beliau menyadari bahwa menikah termasuk sunnah Nabi SAW. Beliau wafat tak lama setelah menunaikan ibadah haji. Sebelum wafat beliau berpesan kepada Abdah binti Abi Shawwal sahabatnya agar jenazahnya nanti dibungkus dengan kain kafan yang telah disiapkan jauh hari. Beliau ingin memastikan kain kafan pembungkus jenazahnya berasal dari harta yang jelas. Oleh karena itu, beliau telah menyiapkan jauh-jauh hari kain kafan yang kelak membungkus jenazahnya. Semasa hidup beliau letakkan kain kafan itu di depannya, tepatnya di tempat sujudnya.

Tasawuf waliyullah Rabi’ah al ‘Adawiyah berlandaskan pada cinta (mahabbah) kepada Allah SWT tanpa pamrih. Tasawuf beliau bukan dilatarbelakangi rasa takut masuk neraka ataupun harapan masuk surga. Pemahaman kehidupan zuhud yang dikembangkan Hasan al Bashri sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah SWT telah dinaikkan makna kandungannya oleh Rabi’ah al ‘Adawiyah sebagai kehidupan zuhud karena cinta tanpa pamrih semata kepada Allah SWT.

Ya Illahi! Jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka, maka bakarlah aku dengan neraka-Mu. Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk surga, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku beribadah kepada Engkau hanya karena semata-mata karena kecintaanku kepada-Mu, maka janganlah, Ya Illahi, Engkau haramkan aku melihat keindahanmu yang azali .

Waliyullah Rabi’ah al ‘Adawiyah, perempuan mulia peletak cinta, ibu para sufi besar.

Wallahu a’lam.(*)