Ticker

6/recent/ticker-posts

Cerpen: Perempuan Penjaga Hujan



Perempuan Penjaga Hujan
 Umi Salamah



Ranum berjalan ke kanan dan ke kiri. Dia berusaha menghindari genangan air. Sungguh dia tidak ingin seragam batiknya kotor oleh titik-titik air. Apalagi air dari genangan jalan. Warnanya yang kecokelatan pasti akan membekas di seragamnya. Wibawanya sebagai dosen akan turun. Dia sangat peduli dengan penampilan. Seorang dosen harus bersih dan rapi.
Rasanya Ranum tengah berkelana di gurun pasir. Perjalanannya terasa lama. Maklum saja, dia berjalan lambat. Menghindari genangan air yang berhadapan dengannya. Gapura berwarna putih tertancap di matanya. Tujuannya hampir sampai, Balai Desa Tambak.
Begitu Ranum menginjak area jalan gapura, sorakan menyambutnya. Teriakan bahagia berkumandang dari seorang perempuan berjas hijau. Ranum tersipu malu. Orang-orang di sekitar melempar pandangan ke arahnya. Tatapan takzim. Dia semestinya bangga.
Perempuan berjas hijau menyongsong Ranum. Sebelumnya dia memanggil bala bantuan. Sembilan orang keluar dari dalam balai desa. Mereka mengeroyok Ranum. Mengerubunginya. Bagai anak ayam yang kegirangan mendapati induknya membawa cacing.
Mereka membawa Ranum ke pendopo desa. Menumpahkan segala rasa campur aduk di sana. Terutama keluh kesah.
 “Jadi, bagaimana satu minggu yang telah berlalu? Kalian telah beradaptasi dengan masyarakat di sini?” ucap Ranum membuka pembicaraan.
Desahan menjadi jawaban atas pertanyaan Ranum. Mimik mereka berdansa waltz. Berputar-putar. Ranum tersenyum tipis. Tebakannya menemui sasaran.
“Aku angkat tangan Bu. Ternyata menjadi mahasiswa sungguh berat,” keluh Manaf.
“Iya. Aku menyesal selama ini tidak serius menjadi mahasiswa. Kaget Bu! Untung tidak jantungan,” tambah Manaf.
“Nah, sekarang kalian sudah merasakannya kan? Perasaan menjadi mahasiswa yang disanjung oleh masyarakat,” ucap Ranum menguatkan mereka.
“Kita bangga diakui oleh masyarakat di sini. Tapi ya itu! Kita kan mahasiswa jurusan manajemen. Masa aku disuruh memperbaiki motor yang rusak. Disangkanya aku mahasiwa apa?  Aku saja tidak pernah menyentuh oli sepanjang hidup,” curhat Dahlia.
Derai tawa menggema di sekitar pendopo desa. Tawa ceria walaupun isinya hanya keluh kesah. Ah, mahasiswa. Status itu sungguh mulia di mata masyarakat. Ibarat siswa, mereka dewanya. Dewa yang tahu segalanya. Ranum mengerti dengan beban moral yang tinggi itu. Bagi para mahasiswa di sekitarnya itu, mereka belum siap. Baru satu minggu, secepat trenggiling mereka akan beradaptasi.
“Ibu akan pulang?” tanya Dahlia yang melihat Ranum menengok ke atas.
“Iya. Tampaknya hujan akan turun. Ibu harus cepat pulang. Takut kehujanan,” jawab Ranum.
“Ibu tidak membawa jas hujan?” lanjut Dahlia.
Ranum tersenyum kecut. Dia ceroboh. Musim hujan telah menyapa. Kebiasaan buruknya masih sama. Selalu lupa membawa jas hujan.
Terlambat bagi Ranum. Gerimis menguar dari angkasa. Pelan-pelan membasahi tanah kecokelatan di samping Ranum. Mata Ranum nanar mengetahuinya.
Dahlia berbaik hati meminjami Ranum. Ah, mahasiswanya sungguh baik. Mau saja peduli dengan dosen cerewet.
“Aku melakukannya agar Ibu cepat datang ke sini lagi,” ucap Dahlia jujur.
Ranum tergelak. Mahasiswanya cerdas, selalu punya segudang amunisi alasan agar menariknya datang ke sini. Tanpa mereka minta, Ranum menyanggupinya. Dia berjanji akan datang seminggu sekali. Menengok  mereka dan perkembangan KKN yang dilakukan.
Ciuman di tangan Ranum menjadi tanda perpisahan hari ini. Sebelum hujan berevolusi menjadi badai, dia harus pulang. Jas hujan berwarna abu-abu melekat di tubuhnya. Ranum siap meluncur.
Ranum telah menduduki motornya sebelum ekor matanya menangkap sesuatu. Sosok perempuan berbaju merah berdiri di area taman desa. Area itu berada di samping kiri pendopo. Perempuan itu memegang payung. Pikirannya berkelana. Dirinya baru menyadari keberadaan perempuan itu.
Ranum menggeleng pelan. Menyadarkan dirinya bahwa motornya telah menunggu untuk dikendarai. Dalam satu kali gas, motornya melesat mengarungi jarum-jarum hujan.
***
Entah kenapa, Ranum selalu memikirkan sosok perempuan itu. Perempuan berambut panjang sebahu dan berwajah pucat. Kantung matanya berwarna hitam. Tatapan matanya kosong. Dia selalu berdiri diam membatu. Satu hal yang menambah antusias Ranum, perempuan itu selalu hadir tatkala hujan bergulir. Hanya ketika hujan perempuan itu akan menampakkan wujudnya. Fakta ini mengusik benak Ranum.
Yup, sejak hari itu dia diam-diam memperhatikan perempuan itu. Pada hitungan ketiga kunjungan ke desa itu, dia baru bisa mendefinisikan fisiknya. Cantik, perempuan itu menawan walaupun wajah pucat menggantung di sana.
Rasa penasaran Ranum memuncak di minggu keempat kunjungan. Dia akan bertanya kepada mahasiswanya mengenai perempuan itu. Sejujurnya dia tidak yakin mereka akan mengetahuinya, tetapi tidak ada salahnya untuk dicoba.
“Dahlia, kau pernah melihat perempuan berdiri di area taman desa saat hujan mengguyur?” tanya Ranum. Dia telah berada di sisi mahasiswanya. Dia akhirnya merealisasikan rasa penasarannya.
Dahlia memiringkan kepalanya. “Perempuan?”
Tampaknya Dahlia tidak tahu menahu mengenai perempuan itu. Ranum sedikit kecewa. Dia tidak dapat membunuh rasa penasarannya.
“Oh perempuan itu? Aku tahu dia.” Tiba-tiba Dahlia menepuk kedua tangannya.
“Kau tahu dia? Siapa dia?” tanya Ranum cepat.
“Namanya Rahma. Dia anak tunggal kepala desa ini. Bagaimana Ibu tahu mengenai dirinya? Kita kan tidak pernah cerita tentang dia,” tanya Dahlia.
“Ibu beberapa kali melihatnya. Jujur saja, ada sesuatu yang aneh mengenai dirinya,” komentar Ranum.
“Ibu juga merasakannya?” tanya Manaf. Dia kemudian memutar kepalanya ke samping kiri dan kana secara bergantian. “Warga di sini menjulukinya dengan perempuan penjaga hujan.”
“Perempuan penjaga hujan?” gumam Ranum.
“Dia hanya muncul ketika hujan datang. Dia memang aneh. Kata warga di sini, dia tidak pernah keluar rumah. Kecuali saat hujan. Seolah-olah ingin menjaga agar hujan tetap ada,” lanjut Manaf.
Ranum berpikir sejenak, mencari kepingan ingatan yang sedari tadi mengusiknya. “Dia seperti tengah menanti seseorang.”
“Ibu benar. Dengar-dengar dari beberapa pegawai desa, dia selalu datang ke area taman desa saat hujan. Dia menunggu kekasihnya yang pergi merantau ke Jakarta,” tandas Dahlia.
“Sudah berapa lama kekasihnya pergi?” tanya Ranum dengan pelan.
“Kira-kira delapan tahun. Kekasihnya tidak pernah kembali. Kasihan Rahma, dia selalu menunggu. Entah untuk berapa lama lagi,” jawab Dahlia sambil mendesah.
Ranum memakan semua fakta itu dengan hati-hati. Pandangan mengenai perempuan itu benar. Tatapan kosong itu terbaca olehnya sebagai isyarat harapan. Perempuan itu pasti sangat merindukan kekasihnya. Hari-harinya kelam tanpa kabar sedikit pun mengenai kekasihnya. Merenggut kebahagiaan yang sejatinya dinikmati olehnya. Satu pertanyaan yang belum terjawab. Kenapa dia hanya muncul di area taman desa itu saat hujan? Tidak ada yang bisa menjawabnya.
***
Lagi-lagi hujan membasahi tanah yang Ranum injak. Ditempat yang sama, desa tempat para mahasiswanya menunaikan tugas KKN. Bisa ditebak, perempuan itu ada di area taman desa. Berdiri termenung.
Dari teras balai desa tempat Ranum berdiri, dia memperhatikan perempuan itu. Matanya tidak berkedip. Menimbang untuk lebih mengenalnya. Sungguh dia ingin tahu perempuan yang dijuluki penjaga hujan.
Sadar saraf kepalanya menginginkan untuk mendatanginya, kakinya menurut. Melangkah hati-hati menuju area taman desa. Ditempat itulah Ranum menemukan sesuatu yang istimewa.
Rahma. Ya, perempuan itu tidak sedingin yang diceritakan oleh para mahasiswanya atau puing-puing gambarannya. Suara lembutnya menghangatkan musim hujan. Jika saja kekasihnya secepat mungkin kembali, jati diri Rahma pasti akan terlukis indah.
Ranum dan Rahma dengan cepat menjadi sahabat. Rahma tidak sungkan menceritakan mengenai kekasihnya. Seorang laki-laki yang kuat dan bertanggung jawab. Gambaran itu yang bisa ditangkap oleh Ranum. Sebagai gantinya, Ranum mengungkapkan mengenai suaminya. Suami yang telah dinikahinya lima tahun yang lalu.
“Aku mempunyai fotonya. Kau bisa melihatnya,” ucap Ranum menyerahkan foto suaminya.
Rahma menerimanya. Sorot matanya yang tadinya antusias bertukar redup. Tatapan penuh kesedihan. Ranum mengernyitkan dahi dengan reaksi Rahma.
“Apa kau mengenalnya?” tanya Ranum.
“Aku sangat mengenalnya. Dia...,” jawab Rahma dengan suara bergetar.

***

Ranum telah kembali ke rumah. Dia berada di ruang tamu. Menunggu kepulangan suami tercinta. Sambil menunggu, dia memperhatikan foto suaminya. Foto khusus dengan latar belakang hujan. Suaminya sangat menyukai hujan. Pikirannya kembali ke masa lalu. Hari ketika suaminya melamarnya.
“Ranum, aku sangat mencintaimu. Bagiku kau adalah penjaga hujan. Perempuan yang dapat meneduhkan hatiku. Maukah kamu menjadi penjaga hujanku untuk selamanya?” pinta suaminya.
Ya. Jawaban itu terlontar mudah dari mulut Ranum. Kebahagiaan. Hanya kebahagiaan yang selama ini Ranum jalani bersama suaminya. Kini, dia menemukan segenggam masa lalu yang siap meruntuhkan rumah tangganya. Masa lalu suaminya.
Sepasang tangan menutup kedua mata Ranum. Dalam kegelapan, dia dapat mengetahui tangan lembut yang menyentuhnya. Suaminya sudah pulang.
“Apa kamu menungguku?” tanya suaminya setelah melepas kedua tangannya dari mata Ranum.
Ranum tersenyum. “Aku menunggumu. Ada yang ingin aku sampaikan padamu.”
Suaminya dapat merasakan tekanan nada bicara yang berbeda dari Ranum. “Ada apa?”
“Kenapa kamu menikahiku di saat kamu telah meminta seorang perempuan untuk menjadi penjaga hujanmu?” tanya Ranum bergetar.
Suaminya membeku. “Ap... apa maksudmu?”
“Kamu pernah meminta seorang perempuan untuk menunggu kan? Delapan tahun yang lalu? Kamu pasti mengingatnya kan?” tegas Ranum. Pelupuk matanya mulai gerimis.
Suaminya menunduk. “Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?”
Hujan turun di mata Ranum. “Aku bertemu dengannya di tempat KKN mahasiswaku. Selama ini dia masih menunggumu. Kamu harus datang kepadanya dan meminta maaf.”
Suaminya mengangkat kepala. “Aku tidak bisa. Aku sudah memiliki dirimu.”
“Tapi dia sangat menantikanmu. Kamu harus menemuinya. Bila perlu memenuhi janji yang kamu ikrarkan,” tegas Ranum tegar.
Suaminya menatap nanar Ranum. Menghapus air mata Ranum dengan jari-jarinya. Senyum tipis bahagia terukir di wajah Ranum. Dada lebar suaminya kini menjadi tumpuan. Apa pun yang akan terjadi esok, dia siap menghadapinya.

=0=



*) Cerpen ini sebelumnya telah tersiar di Tabloid Nova edisi 15-21 Januari 2018. Penulis adalah UMI SALAMAH lahir di Kebumen, 21 April 1996. Mahasiswa IAINU Kebumen. Menulis novel, cerpen, puisi, resensi buku, dan artikel. Karyanya termuat dalam berbagai media cetak dan daring nasional dan daerah. Buku terbarunya Because You Are My Star (novel remaja kontemporer, Alra Media 2017). Pengagum Ahmad Tohari. Alamat rumah di Dukuh Ganggeng Desa Tanjungrejo RT 06 RW 03 Kecamatan Buluspesantren Kabupaten Kebumen. Bisa dihubungi lewat, email: umi.salamahkebumen19@gmail.com