Perempuan Penjaga Hujan
Ranum berjalan
ke kanan dan ke kiri. Dia berusaha menghindari genangan air. Sungguh dia tidak
ingin seragam batiknya kotor oleh titik-titik air. Apalagi air dari genangan
jalan. Warnanya yang kecokelatan pasti akan membekas di seragamnya. Wibawanya
sebagai dosen akan turun. Dia sangat peduli dengan penampilan. Seorang dosen
harus bersih dan rapi.
Rasanya Ranum
tengah berkelana di gurun pasir. Perjalanannya terasa lama. Maklum saja, dia
berjalan lambat. Menghindari genangan air yang berhadapan dengannya. Gapura
berwarna putih tertancap di matanya. Tujuannya hampir sampai, Balai Desa
Tambak.
Begitu Ranum
menginjak area jalan gapura, sorakan menyambutnya. Teriakan bahagia
berkumandang dari seorang perempuan berjas hijau. Ranum tersipu malu.
Orang-orang di sekitar melempar pandangan ke arahnya. Tatapan takzim. Dia
semestinya bangga.
Perempuan berjas
hijau menyongsong Ranum. Sebelumnya dia memanggil bala bantuan. Sembilan orang
keluar dari dalam balai desa. Mereka mengeroyok Ranum. Mengerubunginya. Bagai
anak ayam yang kegirangan mendapati induknya membawa cacing.
Mereka membawa
Ranum ke pendopo desa. Menumpahkan segala rasa campur aduk di sana. Terutama
keluh kesah.
“Jadi, bagaimana satu minggu yang telah
berlalu? Kalian telah beradaptasi dengan masyarakat di sini?” ucap Ranum
membuka pembicaraan.
Desahan menjadi
jawaban atas pertanyaan Ranum. Mimik mereka berdansa waltz.
Berputar-putar. Ranum tersenyum tipis. Tebakannya menemui sasaran.
“Aku angkat
tangan Bu. Ternyata menjadi mahasiswa sungguh berat,” keluh Manaf.
“Iya. Aku
menyesal selama ini tidak serius menjadi mahasiswa. Kaget Bu! Untung tidak
jantungan,” tambah Manaf.
“Nah, sekarang
kalian sudah merasakannya kan? Perasaan menjadi mahasiswa yang disanjung oleh
masyarakat,” ucap Ranum menguatkan mereka.
“Kita bangga
diakui oleh masyarakat di sini. Tapi ya itu! Kita kan mahasiswa jurusan
manajemen. Masa aku disuruh memperbaiki motor yang rusak. Disangkanya aku
mahasiwa apa? Aku saja tidak pernah
menyentuh oli sepanjang hidup,” curhat Dahlia.
Derai tawa
menggema di sekitar pendopo desa. Tawa ceria walaupun isinya hanya keluh kesah.
Ah, mahasiswa. Status itu sungguh mulia di mata masyarakat. Ibarat siswa,
mereka dewanya. Dewa yang tahu segalanya. Ranum mengerti dengan beban moral
yang tinggi itu. Bagi para mahasiswa di sekitarnya itu, mereka belum siap. Baru
satu minggu, secepat trenggiling mereka akan beradaptasi.
“Ibu akan
pulang?” tanya Dahlia yang melihat Ranum menengok ke atas.
“Iya. Tampaknya
hujan akan turun. Ibu harus cepat pulang. Takut kehujanan,” jawab Ranum.
“Ibu tidak
membawa jas hujan?” lanjut Dahlia.
Ranum tersenyum
kecut. Dia ceroboh. Musim hujan telah menyapa. Kebiasaan buruknya masih sama.
Selalu lupa membawa jas hujan.
Terlambat bagi
Ranum. Gerimis menguar dari angkasa. Pelan-pelan membasahi tanah kecokelatan di
samping Ranum. Mata Ranum nanar mengetahuinya.
Dahlia berbaik
hati meminjami Ranum. Ah, mahasiswanya sungguh baik. Mau saja peduli dengan
dosen cerewet.
“Aku
melakukannya agar Ibu cepat datang ke sini lagi,” ucap Dahlia jujur.
Ranum tergelak.
Mahasiswanya cerdas, selalu punya segudang amunisi alasan agar menariknya
datang ke sini. Tanpa mereka minta, Ranum menyanggupinya. Dia berjanji akan
datang seminggu sekali. Menengok mereka
dan perkembangan KKN yang dilakukan.
Ciuman di tangan
Ranum menjadi tanda perpisahan hari ini. Sebelum hujan berevolusi menjadi
badai, dia harus pulang. Jas hujan berwarna abu-abu melekat di tubuhnya. Ranum
siap meluncur.
Ranum telah
menduduki motornya sebelum ekor matanya menangkap sesuatu. Sosok perempuan
berbaju merah berdiri di area taman desa. Area itu berada di samping kiri
pendopo. Perempuan itu memegang payung. Pikirannya berkelana. Dirinya baru
menyadari keberadaan perempuan itu.
Ranum menggeleng
pelan. Menyadarkan dirinya bahwa motornya telah menunggu untuk dikendarai.
Dalam satu kali gas, motornya melesat mengarungi jarum-jarum hujan.
***
Entah kenapa,
Ranum selalu memikirkan sosok perempuan itu. Perempuan berambut panjang sebahu
dan berwajah pucat. Kantung matanya berwarna hitam. Tatapan matanya kosong. Dia
selalu berdiri diam membatu. Satu hal yang menambah antusias Ranum, perempuan
itu selalu hadir tatkala hujan bergulir. Hanya ketika hujan perempuan itu akan
menampakkan wujudnya. Fakta ini mengusik benak Ranum.
Yup, sejak hari itu
dia diam-diam memperhatikan perempuan itu. Pada hitungan ketiga kunjungan ke
desa itu, dia baru bisa mendefinisikan fisiknya. Cantik, perempuan itu menawan
walaupun wajah pucat menggantung di sana.
Rasa penasaran
Ranum memuncak di minggu keempat kunjungan. Dia akan bertanya kepada
mahasiswanya mengenai perempuan itu. Sejujurnya dia tidak yakin mereka akan
mengetahuinya, tetapi tidak ada salahnya untuk dicoba.
“Dahlia, kau
pernah melihat perempuan berdiri di area taman desa saat hujan mengguyur?”
tanya Ranum. Dia telah berada di sisi mahasiswanya. Dia akhirnya merealisasikan
rasa penasarannya.
Dahlia
memiringkan kepalanya. “Perempuan?”
Tampaknya Dahlia
tidak tahu menahu mengenai perempuan itu. Ranum sedikit kecewa. Dia tidak dapat
membunuh rasa penasarannya.
“Oh perempuan
itu? Aku tahu dia.” Tiba-tiba Dahlia menepuk kedua tangannya.
“Kau tahu dia?
Siapa dia?” tanya Ranum cepat.
“Namanya Rahma.
Dia anak tunggal kepala desa ini. Bagaimana Ibu tahu mengenai dirinya? Kita kan
tidak pernah cerita tentang dia,” tanya Dahlia.
“Ibu beberapa
kali melihatnya. Jujur saja, ada sesuatu yang aneh mengenai dirinya,” komentar
Ranum.
“Ibu juga
merasakannya?” tanya Manaf. Dia kemudian memutar kepalanya ke samping kiri dan
kana secara bergantian. “Warga di sini menjulukinya dengan perempuan penjaga
hujan.”
“Perempuan
penjaga hujan?” gumam Ranum.
“Dia hanya
muncul ketika hujan datang. Dia memang aneh. Kata warga di sini, dia tidak
pernah keluar rumah. Kecuali saat hujan. Seolah-olah ingin menjaga agar hujan
tetap ada,” lanjut Manaf.
Ranum berpikir
sejenak, mencari kepingan ingatan yang sedari tadi mengusiknya. “Dia seperti
tengah menanti seseorang.”
“Ibu benar.
Dengar-dengar dari beberapa pegawai desa, dia selalu datang ke area taman desa
saat hujan. Dia menunggu kekasihnya yang pergi merantau ke Jakarta,” tandas
Dahlia.
“Sudah berapa
lama kekasihnya pergi?” tanya Ranum dengan pelan.
“Kira-kira
delapan tahun. Kekasihnya tidak pernah kembali. Kasihan Rahma, dia selalu
menunggu. Entah untuk berapa lama lagi,” jawab Dahlia sambil mendesah.
Ranum memakan semua
fakta itu dengan hati-hati. Pandangan mengenai perempuan itu benar. Tatapan
kosong itu terbaca olehnya sebagai isyarat harapan. Perempuan itu pasti sangat
merindukan kekasihnya. Hari-harinya kelam tanpa kabar sedikit pun mengenai
kekasihnya. Merenggut kebahagiaan yang sejatinya dinikmati olehnya. Satu
pertanyaan yang belum terjawab. Kenapa dia hanya muncul di area taman desa itu
saat hujan? Tidak ada yang bisa menjawabnya.
***
Lagi-lagi hujan
membasahi tanah yang Ranum injak. Ditempat yang sama, desa tempat para
mahasiswanya menunaikan tugas KKN. Bisa ditebak, perempuan itu ada di area
taman desa. Berdiri termenung.
Dari teras balai
desa tempat Ranum berdiri, dia memperhatikan perempuan itu. Matanya tidak
berkedip. Menimbang untuk lebih mengenalnya. Sungguh dia ingin tahu perempuan
yang dijuluki penjaga hujan.
Sadar saraf
kepalanya menginginkan untuk mendatanginya, kakinya menurut. Melangkah
hati-hati menuju area taman desa. Ditempat itulah Ranum menemukan sesuatu yang
istimewa.
Rahma. Ya,
perempuan itu tidak sedingin yang diceritakan oleh para mahasiswanya atau
puing-puing gambarannya. Suara lembutnya menghangatkan musim hujan. Jika saja
kekasihnya secepat mungkin kembali, jati diri Rahma pasti akan terlukis indah.
Ranum dan Rahma
dengan cepat menjadi sahabat. Rahma tidak sungkan menceritakan mengenai
kekasihnya. Seorang laki-laki yang kuat dan bertanggung jawab. Gambaran itu
yang bisa ditangkap oleh Ranum. Sebagai gantinya, Ranum mengungkapkan mengenai
suaminya. Suami yang telah dinikahinya lima tahun yang lalu.
“Aku mempunyai
fotonya. Kau bisa melihatnya,” ucap Ranum menyerahkan foto suaminya.
Rahma
menerimanya. Sorot matanya yang tadinya antusias bertukar redup. Tatapan penuh
kesedihan. Ranum mengernyitkan dahi dengan reaksi Rahma.
“Apa kau
mengenalnya?” tanya Ranum.
“Aku sangat
mengenalnya. Dia...,” jawab Rahma dengan suara bergetar.
***
Ranum telah
kembali ke rumah. Dia berada di ruang tamu. Menunggu kepulangan suami tercinta.
Sambil menunggu, dia memperhatikan foto suaminya. Foto khusus dengan latar
belakang hujan. Suaminya sangat menyukai hujan. Pikirannya kembali ke masa
lalu. Hari ketika suaminya melamarnya.
“Ranum, aku
sangat mencintaimu. Bagiku kau adalah penjaga hujan. Perempuan yang dapat
meneduhkan hatiku. Maukah kamu menjadi penjaga hujanku untuk selamanya?” pinta
suaminya.
Ya. Jawaban itu
terlontar mudah dari mulut Ranum. Kebahagiaan. Hanya kebahagiaan yang selama
ini Ranum jalani bersama suaminya. Kini, dia menemukan segenggam masa lalu yang
siap meruntuhkan rumah tangganya. Masa lalu suaminya.
Sepasang tangan
menutup kedua mata Ranum. Dalam kegelapan, dia dapat mengetahui tangan lembut
yang menyentuhnya. Suaminya sudah pulang.
“Apa kamu
menungguku?” tanya suaminya setelah melepas kedua tangannya dari mata Ranum.
Ranum tersenyum.
“Aku menunggumu. Ada yang ingin aku sampaikan padamu.”
Suaminya dapat
merasakan tekanan nada bicara yang berbeda dari Ranum. “Ada apa?”
“Kenapa kamu
menikahiku di saat kamu telah meminta seorang perempuan untuk menjadi penjaga
hujanmu?” tanya Ranum bergetar.
Suaminya
membeku. “Ap... apa maksudmu?”
“Kamu pernah
meminta seorang perempuan untuk menunggu kan? Delapan tahun yang lalu? Kamu
pasti mengingatnya kan?” tegas Ranum. Pelupuk matanya mulai gerimis.
Suaminya
menunduk. “Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?”
Hujan turun di
mata Ranum. “Aku bertemu dengannya di tempat KKN mahasiswaku. Selama ini dia
masih menunggumu. Kamu harus datang kepadanya dan meminta maaf.”
Suaminya
mengangkat kepala. “Aku tidak bisa. Aku sudah memiliki dirimu.”
“Tapi dia sangat
menantikanmu. Kamu harus menemuinya. Bila perlu memenuhi janji yang kamu
ikrarkan,” tegas Ranum tegar.
Suaminya menatap
nanar Ranum. Menghapus air mata Ranum dengan jari-jarinya. Senyum tipis bahagia
terukir di wajah Ranum. Dada lebar suaminya kini menjadi tumpuan. Apa pun yang
akan terjadi esok, dia siap menghadapinya.
*) Cerpen
ini sebelumnya telah tersiar di Tabloid Nova edisi 15-21 Januari 2018. Penulis adalah UMI SALAMAH lahir di Kebumen, 21 April
1996. Mahasiswa IAINU Kebumen. Menulis novel, cerpen, puisi, resensi buku, dan
artikel. Karyanya termuat dalam berbagai media cetak dan daring nasional dan
daerah. Buku terbarunya Because You Are My Star (novel remaja kontemporer, Alra
Media 2017). Pengagum Ahmad Tohari. Alamat rumah di Dukuh Ganggeng Desa
Tanjungrejo RT 06 RW 03 Kecamatan Buluspesantren Kabupaten Kebumen. Bisa
dihubungi lewat, email: umi.salamahkebumen19@gmail.com